'warning' dari Komnas HAM tentang peristiwa tahun 1965, Gerakan 30 September/PKI

'warning' dari Komnas HAM tentang peristiwa tahun 1965, Gerakan 30 September/PKI.Anggota DPR-RI, DR Chairuman Harahap, SH, MA  meminta masyarakat turut bersama-sama melawan ideologi yang tidak sesuai dengan Pancasila. "Kita boleh berbeda partai politik, berbeda sikap dan pandangan namun kita harus punya satu gerakan sebagai satu paham dalam bernegara," kata mantan Deputi Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia, pada kegiatan silaturahim dan buka puasa bersama dengan eksponen '66, di Medan Club, hari ini.

Bersama Chairuman hadir juga mantan Sekdaprovsu Dr RE.Nainggolan dalam acara tersebut. Chairuman yang merupakan ahli hukum ini menjadi Bakal Calon Gubernur Sumut (Balon Gubsu) dari partai Golkar, sedangkan RE.Nainggolan adalah Balon Gubsu dari PDI-P. Kedua tokoh ini tampak akrab dalam pertemuan pada hari itu.

Pernyataan tentang idiologi yang tak sesuai Pancasila itu disampaikannya menyikapi 'warning' dari Komnas HAM tentang peristiwa tahun 1965, Gerakan 30 September/PKI, yang menyatakan seolah telah terjadi pelanggaran HAM berat ketika itu. "Komnas HAM mendesak agar peristiwa berdarah itu diusut" kata mantan Kepala Kejati Sumut ini.

Chairuman telah kenyang asam garam persoalan hukum ii menegaskan, secara Undang-Undang HAM, untuk mengusut peristiwa masa lalu  harus melalui rekomendasi DPR RI. "Kasus Trisakti saja tidak bisa diusut karena tidak ada rekomendasi DPR, konon pula kasus G30S/PKI," ujarnya.

Dia juga menyesalkan sikap Komnas HAM melihat peristiwa G30/S-PKI hanya dari sisi pemberantasannya saja. "Harusnya kita juga melihat, bagaimana ketika itu markas TNI diobrak-abrik oleh komunis, juga peristiwa Bandar Betsi, apakah itu bukan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh gerakan itu?," tanya Chairuman.

Chairuman juga minta agar masyarakat memahami karena G-30/SPKI bukan proses yang berdiri sendiri, namun sebagai peristiwa pertarungan komunis dan non komunis. Selain itu, kata Chairuman, istilah G30S/PKI, memang dinamai oleh kaum permberontak tersebut yang akhirnya bisa ditumpas oleh para pahlawan revolusi.

Pembahasan terkait G30S/PKI, mengemuka dari keprihatinan organisasi Eksponen 66 terhadap situasi masa lalu tersebut. Sebagaimana disampaikan Ketua Eksponen 66 H.Marzuki yang mengaku prihatin dengan terbitnya buku "Aku Bangga Jadi Anak PKI" karangan Ribka Tjiptaning Proletariati itu.

Menurut Marzuki, pihaknya prihatin karena justru buku tersebut menjadi bacaan setengah wajib di kampus-kampus. Buku tersebut, kata dia seolah-olah menggambarkan, penumpas G30S/PKI sebagai bandit. "Seakan-akan mereka yang memberontak itu pahlawannya. Jadi kita sebagai bagian dari Eksponen '66 yang mengalami peristiwa tahun 1965 itu juga harus menciptakan buku berjudul,"Kami bangga sebagai pelaku penumpasan G-30S/PKI," kata Marzuki, mantan anggota DPRD Sumut dari Partai Golkar ini.

Dia menegaskan sebelum hari bersejarah tersebut yang akan jatuh pada tanggal 30 September nanti pihaknya sudah menerbitkan buku, "Kami Bangga Sebagai Pelaku Penumpas PKI".

Pada silaturrahim dan buka puasa bersama tersebut, turut mengundang puluhan anak yatim piatu dari beberapa panti asuhan di Medan. Hadir juga para pengurus Eksponen '66 di antaranya Yusuf Pardamean Nasution, Azwir Husein. Silaturahim diisi tausiah dari Al UstadzAzwir Bin Ibnu Azis yang mana dalam tausiahnya menyampaikan untuk berhati-hati dalam memilih seorang pemimpin.
Sumber
 http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=256839:chairuman-re-naingolan-di-eksponen-66&catid=41:pilkada-sumut&Itemid=64

Admin tidak bertanggung jawab atas semua isi komentar ,Mohon dipahami semua isi komentar dengan bijak