Asal Usul Perayaan Cap Go Meh

Asal Usul Perayaan Cap Go Meh |  Menurut kombinasi 10 Tian Gan dan 12 Di Zhi dalam sistem penanggalan Imlek, etnis Tionghoa di Indonesia akan merayakan hari Cap Go Meh. Kata Cap Go Meh berasal dari dialek Tiociu atau Hokkien yaitu Cap Go itu lima belas dan Meh itu malam. Artinya malam kelima belas.

Sedangkan dalam dialek Hakka disebut Cang Nyiat Pan yaitu cang nyiat adalah bulan satu dan pan itu pertengahan sehingga berarti pertengahan bulan satu.

Sementara di negeri daratan Tiongkok, perayaan Cap Go Meh dalam bahasa mandarin disebut Yuan Shiau Ciek artinya festival malam bulan satu dan di negeri barat lebih dikenal sebagai Lantern Festival.
Budayawan Tionghoa Kalbar, Lie Sau Fat menyatakan, setiap hari raya warga Tionghoa, baik religius maupun tradisi budaya ada asal-usulnya yang diceritakan dari mulut ke mulut, legenda, berdasarkan buku dengan beragam versi, tergantung budaya, tradisi dan daerah masing-masing.

Menurut pria kelahiran 1932 yang lebih dikenal dengan nama XF Asali ini, Cap Go Meh memiliki dua versi. Versi pertama adalah Yuan Shiau Ciek yaitu satu di antara festival yang dirayakan sejak Dinasti Xie Han (206 SM-24 M) untuk menandakan berakhirnya perayaan tahun baru Imlek.

"Secara religius pada umat penganut Taoisme, Cap Go Meh dikenal sebagai San Yuan yaitu hari lahir Shang Yuan Thian Kuan atau Dewa Langit yang memberikan karunia pada manusia," ujarnya.
Sementara pada Dinasti Tung Han (25-220), oleh Kaisar Liu Chang, perayaan Yuan Shiau Ciek untuk menghormati Sang Buddha Sakyamuni yang telah menampakkan diri pada tanggal 30 bulan 12 Imlek di Daratan Barat, yang ditafsirkan sama dengan tanggal 15 bulan 1 Imlek di Daratan Timur.

Oleh karena itu, Kaisar juga memerintahkan rakyatnya sembahyang syukuran, arak-arakan, memasang lampion, dan atraksi kesenian rakyat pada malam hari tepatnya Cap Go Meh.

Asali memaparkan, perayaan tersebut berlanjut secara turun-temurun hingga sekarang diperingati masyarakat Tionghoa yang menganut Tri Dharma (Sam Kaw) sebagai hari raya religius umat Taoisme, Budhhis, dan Konghucu.

"Sedangkan untuk etnis Tionghoa lainnya dirayakan sebagai hari raya tradisi budaya Yuan Shiau Ciek atau Cap Go Meh atau Lantern Festival sesuai kondisi dan situasi masing-masing," tuturnya.
Sementara versi lainnya, menurut Asali adalah cerita rakyat pada Dinasti Tung Zhou (770 SM - 256 SM) yaitu para petani pada tanggal 15 bulan 1 Imlek memasang lampion yang disebut Chau Tian Can di sekeliling ladang untuk mengusir hama dan menakuti binatang perusak tanaman.

Petani saat itu juga melihat perubahan warna api dalam lampion (Ten Lung) yang dipercaya dari perubahan warna api dalam lampion pada malam itu dapat diketahui cuaca yang akan datang, yaitu apakah kemarau panjang atau lebih banyak hujan sepanjang tahun.

Dengan demikian, setiap tahun pada hari yang sama petani akan memasang lampion di sekeliling ladang. Setiap tahun semakin bertambah banyak lampion yang dipasang sehingga membentuk suatu pemandangan yang indah pada tanggal 15 bulan 1 Imlek.

"Memasang lampion selain bermanfaat mengusir hama, juga tercipta pemandangan yang indah. Sedangkan untuk menakuti binatang perusak tanaman ditambah segala bunyi-bunyian, bermain barongsai serta arak-arakan tatung sebagai tolak bala dan supaya lebih ramai," cerita Asali.
Menurut Asali, kepercayaan dan tradisi budaya tersebut berlanjut serta berkembang turun-temurun baik di daraytyan Tiongkok maupun di daerah perantauan di seluruh dunia sesuai kondisi dan situasi negara masing-masing, termasuk di Kalbar.

Terpisah, Sekretaris Panitia Cap Go Meh 2013 Singkawang, Bong Cin Nen mengatakan istilah Cap Go Meh adalah hari kelima belas bulan pertama yang pada tahun ular kali ini adalah yang ke 2564 jatuh pada hari Minggu (24/2).

Menurutnya Cap Go Meh yang memiliki dua versi terdiri dari versi para petani dengan versi orang intelektual. Versi petani Cap Go Meh menandakan perayaan Imlek telah berakhir, keesokan harinya sudah kembali ke ladang atau sawah untuk bekerja sehingga berakhirlah perayaan Imlek pada Cap Go Meh itu.

"Pada versi ini, menurut tradisi setelah Cap Go Meh akan masuk musim tanam atau musim hujan, sehingga disebut akhir perayaan Imlek," ujarnya.

Sementara versi intelektual, Cap Go Meh adalah sebuah perayaan yang ada nilai ritualnya di mana para tatung/loya atau dewa membuka kembali stempel para tatungnya yang telah ditutup pada tanggal 23 bulan 12 penanggalan Imlek atau sebelum perayaan Imlek sehingga setelah 15 hari dibuka kembali.
"Oleh karena itu, dianggap para tatung atau dewa turun atau kembali ke bumi sehingga perlu diadakan arak-arakan tatung," tutur Cin Nen.

Kendati demikian, perkembangan tradisi Cap Go Meh di Singkawang ada kaitannya dengan para tatung menjadi tabib menyembuhkan orang sakit. Penyembuhan orang sakit dilakukan dengan pemasangan altar disebut Ta Ciau dengan tujuan mengusir roh jahat dari perkampungan yang dilakukan dengan arak-arakan tatung.

Kebiasaan itulah yang dilakukan sampai sekarang, maka setiap ada festival Cap Go Meh dilakukan arak-arakan dengan harapan dapat mengusir roh jahat dari seluruh kehidupan masyarakat selama satu tahun. Dengan demikian, setelah perayaan Cap Go Meh dianggap dapat membawa keselamatan bagi kita semua. (steven greatness)

Editor: Rachmat Hidayat  |  Sumber: Tribun Pontianak
 

Admin tidak bertanggung jawab atas semua isi komentar ,Mohon dipahami semua isi komentar dengan bijak