Tanggal 13 Desember Masyarakat Tebing tinggi Memperingati Tragedi Berdarah dengan memasang Bendera dan Upacara.
Sejarah Singkat Peristiwa Tragedi Berdarah 13 Desember Tebing Tinggi.Berdasarkan sejarah singkat, papar Pardamean, pada 13 Desember 1945 sekira pukul 09.00 WIB pagi, wakil Pemerintah RI wilayah Siantar Tuan Maja Purba dan kawan-kawan datang ke Kota Tebingtinggi membahas situasi kekosongan kekuasaan di Kota Tebingtinggi yang saat itu di duduki tentara Jepang.
Pada awal pembahasan antara perwakilan Pemerintah RI dengan Jepang, bahwa dalam situasi ini Pemerintah RI dan Jepang tidak bermusuhan. Tapi sekira pukul 14.30 WIB tentara Jepang mengingkari janjinya dan terjadilah pembantaian terhadap para pemuda pejuang hingga banyak memakan korban, dan dalam waktu yang singkat Kota Tebingtinggi sudah dikuasai tentara Jepang.
Selanjutnya, tentara Jepang melakukan operai penangkapan terhadap para pemuda pejuang salah satunya Raden Mas Deblod Sundoro diculik dan mayatnya tiga hari kemudian ditemukan di pinggir Sungai Bahilang. Mengetahui hal ini, turunlah bantuan pemuda pejuang dari Pematangsiantar, Sei Berong, Sei Rampah dan Dolok Masihul.
Namun bantuan yang datang dari Dolok Masihul sebelum
masuk Kota Tebingtinggi sudah dihalang tentara Jepang di Titi gantung,
sehingga banyak pemuda pejuang yang tewas dan hanyut kesungai. "Disilah
peristiwa bersejarah titi gantung terjadi," katanya.
Marilah meluangkan sedikit waktu untuk mengikuti cermat perkelahian besar yang pernah terjadi di bumi ini dan menggunakannya sebagai patron analisis untuk kejadian-kejadian di belakang hari. Kenalilah dengan amat baik ketauladanan para nabi yang merubah dunia.
Dipublikasi pertamakali oleh Harian Waspada Medan
Ibarat pohon, sejarah itu semestinya
mampu mendeskripsikan diri kita secara lengkap (akar, batang, cabang,
ranting, anak ranting, dedaun, dan bahkan serpihan-serpihan yang gugur
ke bumi). Bisa saja memang, karena sebuah kesalahan besar sejarah dibuat
tidak jujur.
Sejarah bahkan kerap menjadi cerita tentang perilaku dan
“omong kosong” orang-orang besar di zamannya. Kalau begitu sejarah bukan
sekadar butuh metode, tetapi juga kemasuk-akalan dan kejujuran.
Itu
karena sejarah adalah cermin yang bukan sekadar mata pelajaran penting
tentang penanggalan, peristiwa, tempat dan sejumlah nama belaka, plus
seremoni yang disakralkan. Sudah pasti sebuah bangsa akan terbelakang
jika tak mampu bermatematika. Tetapi jika ia jatuh dan menjadi budak
bagi negara lain, termasuk mengapa tak tahu matematika, jawabannya
justru ada pada sejarah.
Saksikanlah apa kata orang belakangan
tentang detik-detik menegangkan ketika Soekarno dan Hatta diculik oleh
sejumlah anak muda untuk dipaksa “memerdekakan” Indonesia.
Rengasdengklok disebut menjadi sebuah tempat yang entah mengapa menjadi
pilihan bagi Adam Malik dan kawan-kawan. Tempat yang dinilai cukup untuk
“menjauhkan” pengaruh Jepang dari Indonesia baru yang akan
dimerdekakan?
Tetapi kemudian tibalah saatnya orang bertanya mengapalah
Maeda, si penguasa Jepang itu, justru menjadi figur penentu melebihi
peran sebagai pelengkap di tengah percaturan politik global yang membuat
negaranya terpaksa menerima kekalahan dari sekutu? Mungkin ia tak
sekadar fasilitator. “Sutradara” ini semakin jelas posisinya jika
dihubungkan dengan historical background BPUPKI dan PPKI yang
sebelumnya dibentuk. Ketak-masuk-akalan alasan penjauhan Soekarno-Hatta
dari Jepang dengan peristiwa penculikan Rengasdengklok pun perlahan
terbuka.
Bukan saja, kata Ichwan Azhari, karena Adam Malik itu, di zaman
itu, seolah “memakai sepasang sepatu yang jauh lebih besar dari kedua
kakinya”. Tetapi dua orang yang kemudian mengatasnamakan rakyat
Indonesia pun ditakdirkan lupa bahwa meskipun telah melakukan pencoretan
beberapa kata, naskah proklamasi tetap saja menyisakan aroma kental
skenario Jepang yang negaranya secara tak sportif diluluh-lantakkan oleh
sekutu dengan bom atom, justru rakyat negara matahari terbit itu sedang
tidur pulas.
Sejarah memang harus jujur dan tidak
membodohi. Bukankah bisa dan biasa terjadi, bahwa karena kenaifan suatu
bangsa, sejarah ditulis oleh orang lain yang menghendaki keperiadaan
tertentu bagi sebuah bangsa yang kerap harus dijuluki gagap dan dicoba
senantiasa digagapkan?
Periksalah dengan cermat pertengkaran sengit
Mohammad Said, pendiri Harian Waspada, dengan banyak orang tentang
Sisingamangaraja XII seputar klaim kemangkatannya dan perburuan gagal
pasukan Belanda. Tentang bendera yang menyimbolkan kediriannya. Tentang
stempel yang multi-interpretasi dan tentang banyak hal mengenai
pengikutnya Parmalim. Distorsi selalu mewajibkan revisi tajam. Itu jika
sebuah generasi pewaris ingin menjelaskan dirinya secara jujur.
Petunjuk Masa Depan.
Sekali lagi, sejarah bukanlah sekadar penanggalan untuk suatu
kejadian di suatu tempat yang melibatkan orang-orang. Sejarah bukan pula
cuma kenangan pahit atau ceria tentang masa silam. Sejarah adalah
petunjuk masa depan.
Sejarah mestinya pula mampu menjelaskan bahwa
setelah India dan Cina, Indonesia adalah negara dengan penduduk terbesar
penderita tuberculosis saat ini disusul Afrika Selatan, Nigeria,
Bangladesh, Ethiopia, Pakistan, Philipina, Kongo, dan Rusia. Saat ini
ada 22 negara dengan beban berat penyakit menular yang berbahaya ini,
yang pada umumnya adalah negara-negara dengan tingkat keterbelakangan
yang menyedihkan, termasuk Viet Nam, Kenya, Tanzania, Uganda, Brazil,
Mozambique, Thailand, Myanmar, Zimbabwe, Kamboja dan Afghanistan.
Jika
sejarah tak mampu menjelaskan fakta ini, maka negara-negara ini pun tak
akan punya masa depan.
Sejarah yang benar wajib menjelaskan
kepada kita mengapa Ujian Nasional (UN) yang berbiaya begitu besar
dipandang menjadi prioritas pendidikan padahal semua orang tahu bahwa
jangankan ujian, ijazah saja pun lazim diperjual-belikan di indonesia.
Lagi pula trend umum sudah sukar dihindari bahwa ujian itu
sendiri dikerjasamakan di sekolah dan dilihat dari besaran permasalahan
pendidikan Indonesia kurang lebih UN itu cuma seperti orang yang tak
punya celana dan tak punya baju tetapi memaksa diri untuk memakai dasi.
Jika tidak, Indonesia tidak akan memiliki masa depan kecuali sebagai
pecundang belaka di tengah percaturan global.
Interaksi berbagai aspek dalam demokrasi
Indonesia hingga kini menunjukkan bahwa aspek kebebasan sipil sepintas
telah jauh melampaui yang lain. Tetapi itu tidak serta merta menjadi
jaminan terpenuhinya aspek-aspek lain seperti hak-hak politik warga dan
tumbuhnya lembaga-lembaga demokrasi secara sehat. Pertanyaan ”mengapa”
harus muncul dari sejarah hingga sebuah jalan baru terbuka bagi
Indonesia untuk menempuh sebuah masa depan yang lebih baik.
Kecuali para
elitnya memang menginginkan Indonesia tak diperlukan kecuali sebagai
persembahan khusus bagi hasrat hedonitas dan ambisi kekuasaan
mereka. Jika sejarah tak dapat menjelaskan luluh-lantaknya kedaulatan
Indonesia oleh kekuatan asing dalam pengelolaan sumberdaya alam yang
menebar malapetaka kemanusiaan, kejahatan lingkungan dan kejahatan
keuangan negara, maka Indonesia, dengan perantaraan mandat yang
diberikan kepada para pemimpinnya, telah menerima legowo nasibnya
kembali ke periode kolonial yang tak punya harga diri.
Indonesia pun harus cepat siuman dan
membuat sejarahnya secara kritis mampu menjelaskan mengapa lembaga tak
penting yang dipenting-pentingkan seperti KPK dan Satgas Pemberantasan
Mafia Hukum tak mampu berbuat apa-apa kecuali sekadar seperti berteriak
tak menentu untuk mengaburkan bahwa sebuah rezim hanya bertindak untuk
kepentingaan terbatas yang menjauhi kepentingan pemenuhan kemaslahatan
rakyat. Jika rezim ini sadar, sejarah sebaiknya tidak perlu ditunggu
untuk menceritakan betapa buruknya rezim ini secara subjektif merumuskan
sendiri pengabdiannya untuk sesuatu yang sama sekali tak difahami oleh
rakyatnya.
Marilah meluangkan sedikit waktu untuk mengikuti cermat perkelahian besar yang pernah terjadi di bumi ini dan menggunakannya sebagai patron analisis untuk kejadian-kejadian di belakang hari. Kenalilah dengan amat baik ketauladanan para nabi yang merubah dunia.
Jangan sungkan menyebut
Engels, Marx, Lenin, Gevara, Jilas dan lain-lain. Sekali melupakan Ibn
Batutah dan Ibn Khaldun yang kaya pemikiran, dengan membabi buta kita
bisa memihaki ilmuan Barat yang tanpa penghargaan terhadap hak
intelektual saat mereka akan membangun berbagai disiplin ilmu di
kampungnya.
Keperiadaan kiri maupun kanan dalam konstelasi perbenturan
idiologi mestinya tidak membuat kita malas memburu sejarah orang-orang
paling kanan maupun paling kiri sepanjang sejarah. Para perintis
peradaban baru yang berpengaruh dalam sejarah Barat adalah ibarat
tonggak baru yang mematahkan tonggak lama di Timur dengan hukum-hukum
kausalitas yang pinasti.
Kita wajib menjadi cendekiawan organik yang tak perlu merasa harus dihitung. Kita menjadi mahasiswa abadi saja dan profesor emiritus
di sebuah universitas paling terbuka sepanjang sejarah. Kita gerakkan
naluri keluruhan untuk tetap menjadi pewarta kebenaran biarpun akan
menjadi wartawan tanpa surat kabar. Kita wajib menjadi negarawan paling
agung di sebuah negeri paling berjaya sepanjang sejarah, yakni negara
konstruksi kontinum, dan itu tak perlu dengan jabatan formal dan
pernak-pernik simbol kebesaran apa pun.
Admin tidak bertanggung jawab atas semua isi komentar ,Mohon dipahami semua isi komentar dengan bijak