[Hikmah Maulid Nabi] Meneladani Akhlak Nabi Muhammad SAW.
A’uudzu
billahi minasy syaithanirrajiim Bismillahirrahmanirrahim Allahumma
salli ‘ala sayyidina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa sahbihi wasallim
Setelah
Nabi Muhammad SallAllahu ‘Alayhi Wasallam wafat, seketika itu pula kota Madinah
bising dengan tangisan ummat Islam; antara percaya – tidak percaya,
Rasul Yang Mulia telah meninggalkan para sahabat. Beberapa waktu
kemudian, seorang arab badui menemui Umar dan dia meminta, “Ceritakan
padaku akhlak Muhammad!”. Umar menangis mendengar permintaan itu. Ia
tak sanggup berkata apa-apa. Ia menyuruh Arab badui tersebut menemui
Bilal. Setelah ditemui dan diajukan permintaan yg sama, Bilal pun
menangis, ia tak sanggup menceritakan apapun. Bilal hanya dapat
menyuruh orang tersebut menjumpai Ali bin Abi Thalib.
Orang Badui
ini mulai heran. Bukankah Umar merupakan seorang sahabat senior Nabi,
begitu pula Bilal, bukankah ia merupakan sahabat setia Nabi.
Mengapa
mereka tak sanggup menceritakan akhlak Muhammad Orang Badui ini mulai
heran. Bukankah Umar merupakan seorang sahabat senior Nabi, begitu pula
Bilal, bukankah ia merupakan sahabat setia Nabi. Mengapa mereka tak
sanggup menceritakan akhlak Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam.
Dengan berharap-harap cemas, Badui ini menemui Ali. Ali dengan linangan
air mata berkata, “Ceritakan padaku keindahan dunia ini!.” Badui ini
menjawab, “Bagaimana mungkin aku dapat menceritakan segala keindahan
dunia ini….” Ali menjawab, “Engkau tak sanggup menceritakan keindahan
dunia padahal Allah telah berfirman bahwa sungguh dunia ini kecil dan
hanyalah senda gurau belaka, lalu bagaimana aku dapat melukiskan akhlak
Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam, sedangkan Allah telah berfirman
bahwa
sungguh Muhammad memiliki budi pekerti yang agung! (QS. Al-Qalam[68]: 4)”
Badui
ini lalu menemui Siti Aisyah r.a. Isteri Nabi sallAllahu ‘alayhi
wasallam yang sering disapa “Khumairah” oleh Nabi ini hanya menjawab,
khuluquhu al-Qur’an (Akhlaknya Muhammad itu Al-Qur’an). Seakan-akan
Aisyah ingin mengatakan bahwa Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam itu
bagaikan Al-Qur’an berjalan. Badui ini tidak puas, bagaimana bisa ia
segera menangkap akhlak Nabi kalau ia harus melihat ke seluruh kandungan
Qur’an. Aisyah akhirnya menyarankan Badui ini untuk membaca dan
menyimak QS Al-Mu’minun [23]: 1-11.
Bagi para sahabat,
masing-masing memiliki kesan tersendiri dari pergaulannya dengan Nabi
sallAllahu ‘alayhi wasallam. Kalau mereka diminta menjelaskan seluruh
akhlak Nabi, linangan air mata-lah jawabannya, karena mereka terkenang
akan junjungan mereka. Paling-paling mereka hanya mampu menceritakan
satu fragmen yang paling indah dan berkesan dalam interaksi mereka
dengan Nabi terakhir ini.
Mari kita kembali ke Aisyah.
Ketika ditanya, bagaimana perilaku Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam,
Aisyah hanya menjawab, “Ah semua perilakunya indah.” Ketika didesak
lagi, Aisyah baru bercerita saat terindah baginya, sebagai seorang
isteri. “Ketika aku sudah berada di tempat tidur dan kami sudah masuk
dalam selimut, dan kulit kami sudah bersentuhan, suamiku berkata, ‘Ya
Aisyah, izinkan aku untuk menghadap Tuhanku terlebih dahulu.’” Apalagi
yang dapat lebih membahagiakan seorang isteri, karena dalam sejumput
episode tersebut terkumpul kasih sayang, kebersamaan, perhatian dan
rasa hormat dari seorang suami, yang juga seorang utusan Allah.
Nabi
Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam jugalah yang membikin khawatir
hati Aisyah ketika menjelang subuh Aisyah tidak mendapati suaminya
disampingnya. Aisyah keluar membuka pintu rumah. terkejut ia bukan
kepalang, melihat suaminya tidur di depan pintu. Aisyah berkata,
“Mengapa engkau tidur di sini?” Nabi Muhammmad menjawab, “Aku pulang
sudah larut malam, aku khawatir mengganggu tidurmu sehingga aku tidak
mengetuk pintu. itulah sebabnya aku tidur di depan pintu.” Mari berkaca
di diri kita masing-masing. Bagaimana perilaku kita terhadap isteri
kita? Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam mengingatkan, “berhati-hatilah
kamu terhadap isterimu, karena sungguh kamu akan ditanya di hari akhir
tentangnya.” Para sahabat pada masa Nabi memperlakukan isteri mereka
dengan hormat, mereka takut kalau wahyu turun dan mengecam mereka.
Buat
sahabat yang lain, fragmen yang paling indah ketika sahabat tersebut
terlambat datang ke Majelis Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Tempat
sudah penuh sesak. Ia minta izin untuk mendapat tempat, namun sahabat
yang lain tak ada yang mau memberinya tempat. Di tengah kebingungannya,
Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam memanggilnya. Rasul sallAllahu
‘alayhi wasallam memintanya duduk di dekatnya. Tidak cukup dengan itu,
Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam pun melipat sorbannya lalu diberikan
pada sahabat tersebut untuk dijadikan alas tempat duduk. Sahabat
tersebut dengan berlinangan air mata, menerima sorban tersebut namun
tidak menjadikannya alas duduk akan tetapi malah mencium sorban Nabi
sallAllahu ‘alayhi wasallam tersebut.
Senangkah kita kalau
orang yang kita hormati, pemimpin yang kita junjung tiba-tiba melayani
kita bahkan memberikan sorbannya untuk tempat alas duduk kita.
Bukankah kalau mendapat kartu lebaran dari seorang pejabat saja kita
sangat bersuka cita. Begitulah akhlak Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam,
sebagai pemimpin ia ingin menyenangkan dan melayani bawahannya. Dan
tengoklah diri kita. Kita adalah pemimpin, bahkan untuk lingkup paling
kecil sekalipun, sudahkah kita meniru akhlak Rasul Yang Mulia.
Nabi
Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam juga terkenal suka memuji
sahabatnya. Kalau kita baca kitab-kitab hadis, kita akan kebingungan
menentukan siapa sahabat yang paling utama. Terhadap Abu Bakar, Rasul
sallAllahu ‘alayhi wasallam selalu memujinya. Abu Bakar- lah yang
menemani Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam ketika hijrah. Abu Bakarlah
yang diminta menjadi Imam ketika Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam
sakit. Tentang Umar, Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam pernah berkata,
“Syetan saja takut dengan Umar, bila Umar lewat jalan yang satu, maka
Syetan lewat jalan yang lain.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Nabi
sallAllahu ‘alayhi wasallam bermimpi meminum susu. Belum habis satu
gelas, Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam memberikannya pada Umar yang
meminumnya sampai habis. Para sahabat bertanya, Ya Rasul apa maksud
(ta’wil) mimpimu itu? Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam menjawab “ilmu
pengetahuan.”
Tentang Utsman, Rasul sallAllahu ‘alayhi
wasallam sangat menghargai Utsman karena itu Utsman menikahi dua putri
Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam, hingga Utsman dijuluki Dzu an-Nurain
(pemilik dua cahaya). Mengenai Ali, Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam
bukan saja menjadikannya ia menantu, tetapi banyak sekali riwayat yang
menyebutkan keutamaan Ali. “Aku ini kota ilmu, dan Ali adalah
pintunya.” “Barang siapa membenci Ali, maka ia merupakan orang
munafik.”
Lihatlah diri kita sekarang. Bukankah jika ada seorang
rekan yang punya sembilan kelebihan dan satu kekurangan, maka kita jauh
lebih tertarik berjam-jam untuk membicarakan yang satu itu dan
melupakan yang sembilan. Ah…ternyata kita belum suka memuji; kita masih
suka mencela. Ternyata kita belum mengikuti sunnah Nabi.
Saya
pernah mendengar ada seorang ulama yang mengatakan bahwa Allah pun
sangat menghormati Nabi Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam. Buktinya,
dalam Al-Qur’an Allah memanggil para Nabi dengan sebutan nama: Musa,
Ayyub, Zakaria, dll. tetapi ketika memanggil Nabi Muhammad sallAllahu
‘alayhi wasallam, Allah menyapanya dengan “Wahai Nabi”. Ternyata Allah
saja sangat menghormati beliau.
Para sahabat pun ditegur
oleh Allah ketika mereka berlaku tak sopan pada Nabi sallAllahu ‘alayhi
wasallam. Alkisah, rombongan Bani Tamim menghadap Rasul sallAllahu
‘alayhi wasallam. Mereka ingin Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam
menunjuk pemimpin buat mereka. Sebelum Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam
memutuskan siapa, Abu Bakar berkata: “Angkat Al-Qa’qa bin Ma’bad
sebagai pemimpin.” Kata Umar, “Tidak, angkatlah Al-Aqra’ bin Habis.”
Abu Bakar berkata ke Umar, “Kamu hanya ingin membantah aku saja,” Umar
menjawab, “Aku tidak bermaksud membantahmu.” Keduanya berbantahan
sehingga suara mereka terdengar makin keras. Waktu itu turunlah ayat:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan
Rasul-Nya. Takutlah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha
Mendengar dan maha Mengetahui.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu menaikkan suaramu di atas suara Nabi. janganlah kamu mengeraskan
suara kamu dalam percakapan dengan dia seperti mengeraskan suara kamu
ketika bercakap sesama kamu. Nanti hapus amal- amal kamu dan kamu tidak
menyadarinya” (QS. Al-Hujurat 1-2)
Setelah mendengar teguran itu
Abu Bakar berkata, “Ya Rasul Allah, demi Allah, sejak sekarang aku
tidak akan berbicara denganmu kecuali seperti seorang saudara yang
membisikkan rahasia.” Umar juga berbicara kepada Nabi sallAllahu
‘alayhi wasallam dengan suara yang lembut. Bahkan konon kabarnya
setelah peristiwa itu Umar banyak sekali bersedekah, karena takut amal
yang lalu telah terhapus. Para sahabat Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam
takut akan terhapus amal mereka karena melanggar etiket berhadapan
dengan Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam.
Dalam satu
kesempatan lain, ketika di Mekkah, Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam
didatangi utusan pembesar Quraisy, Utbah bin Rabi’ah. Ia berkata pada
Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam, “Wahai kemenakanku, kau datang
membawa agama baru, apa yang sebetulnya kau kehendaki. Jika kau
kehendaki harta, akan kami kumpulkan kekayaan kami, Jika Kau inginkan
kemuliaan akan kami muliakan engkau. Jika ada sesuatu penyakit yang
dideritamu, akan kami carikan obat. Jika kau inginkan kekuasaan, biar
kami jadikan engkau penguasa kami”
Nabi sallAllahu ‘alayhi
wasallam mendengar dengan sabar uraian tokoh musyrik ini. Tidak
sekalipun beliau membantah atau memotong pembicaraannya. Ketika Utbah
berhenti, Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam bertanya, “Sudah selesaikah,
Ya Abal Walid?” “Sudah.” kata Utbah. Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam
membalas ucapan utbah dengan membaca surat Fushilat. Ketika sampai pada
ayat sajdah, Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam pun bersujud. Sementara
itu Utbah duduk mendengarkan Nabi sampai menyelesaikan bacaannya.
Peristiwa
ini sudah lewat ratusan tahun lalu. Kita tidak heran bagaimana Nabi
sallAllahu ‘alayhi wasallam dengan sabar mendengarkan pendapat dan usul
Utbah, tokoh musyrik. Kita mengenal akhlak nabi dalam menghormati
pendapat orang lain. Inilah akhlak Nabi dalam majelis ilmu. Yang
menakjubkan sebenarnya adalah perilaku kita sekarang. Bahkan oleh si
Utbbah, si musyrik, kita kalah. Utbah mau mendengarkan Nabi sallAllahu
‘alayhi wasallam dan menyuruh kaumnya membiarkan Nabi sallAllahu
‘alayhi wasallam berbicara. Jangankan mendengarkan pendapat orang
kafir, kita bahkan tidak mau mendengarkan pendapat saudara kita sesama
muslim. Dalam pengajian, suara pembicara kadang-kadang tertutup suara
obrolan kita. Masya Allah!
Ketika Nabi sallAllahu ‘alayhi
wasallam tiba di Madinah dalam episode hijrah, ada utusan kafir Mekkah
yang meminta janji Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam bahwa Nabi
sallAllahu ‘alayhi wasallam akan mengembalikan siapapun yang pergi ke
Madinah setelah perginya Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Selang
beberapa waktu kemudian. Seorang sahabat rupanya tertinggal di belakang
Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Sahabat ini meninggalkan isterinya,
anaknya dan hartanya. Dengan terengah-engah menembus padang pasir,
akhirnya ia sampai di Madinah. Dengan perasaan haru ia segera menemui
Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam dan melaporkan kedatangannya. Apa
jawab Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam? “Kembalilah engkau ke Mekkah.
Sungguh aku telah terikat perjanjian. Semoga Allah melindungimu.”
Sahabat ini menangis keras. Bagi Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam janji
adalah suatu yang sangat agung. Meskipun Nabi sallAllahu ‘alayhi
wasallam merasakan bagaimana besarnya pengorbanan sahabat ini untuk
berhijrah, bagi Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam janji adalah janji;
bahkan meskipun janji itu diucapkan kepada orang kafir. Bagaimana kita
memandang harga suatu janji, merupakan salah satu bentuk jawaban
bagaimana perilaku Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam telah menyerap di
sanubari kita atau tidak.
Dalam suatu kesempatan menjelang
akhir hayatnya, Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam berkata pada para
sahabat, “Mungkin sebentar lagi Allah akan memanggilku, aku tak ingin
di padang mahsyar nanti ada diantara kalian yang ingin menuntut balas
karena perbuatanku pada kalian. Bila ada yang keberatan dengan
perbuatanku pada kalian, ucapkanlah!” Sahabat yang lain terdiam, namun
ada seorang sahabat yang tiba-tiba bangkit dan berkata, “Dahulu ketika
engkau memeriksa barisan di saat ingin pergi perang, kau meluruskan
posisi aku dengan tongkatmu. Aku tak tahu apakah engkau sengaja atau
tidak, tapi aku ingin menuntut qishash hari ini.” Para sahabat lain
terpana, tidak menyangka ada yang berani berkata seperti itu. Kabarnya
Umar langsung berdiri dan siap “membereskan” orang itu. Nabi sallAllahu
‘alayhi wasallam pun melarangnya. Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam pun
menyuruh Bilal mengambil tongkat ke rumah beliau. Siti Aisyah yang
berada di rumah Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam keheranan ketika Nabi
sallAllahu ‘alayhi wasallam meminta tongkat. Setelah Bilal menjelaskan
peristiwa yang terjadi, Aisyah pun semakin heran, mengapa ada sahabat
yang berani berbuat senekad itu setelah semua yang Rasul sallAllahu
‘alayhi wasallam berikan pada mereka.
Rasul memberikan tongkat
tersebut pada sahabat itu seraya menyingkapkan bajunya, sehingga
terlihatlah perut Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Nabi sallAllahu
‘alayhi wasallam berkata, “Lakukanlah!”
Detik-detik
berikutnya menjadi sangat menegangkan. Tetapi terjadi suatu keanehan.
Sahabat tersebut malah menciumi perut Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam
dan memeluk Nabi seraya menangis, “Sungguh maksud tujuanku hanyalah
untuk memelukmu dan merasakan kulitku bersentuhan dengan tubuhmu!. Aku
ikhlas atas semua perilakumu wahai Rasulullah”. Seketika itu juga
terdengar ucapan, “Allahu Akbar” berkali-kali. Sahabat tersebut tahu,
bahwa permintaan Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam itu tidak mungkin
diucapkan kalau Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam tidak merasa bahwa
ajalnya semakin dekat. Sahabat itu tahu bahwa saat perpisahan semakin
dekat, ia ingin memeluk Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam sebelum Allah
memanggil Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam ke hadirat-Nya.
Suatu
pelajaran lagi buat kita. Menyakiti orang lain baik hati maupun
badannya merupakan perbuatan yang amat tercela. Allah tidak akan
memaafkan sebelum yang kita sakiti memaafkan kita. Rasul sallAllahu
‘alayhi wasallam pun sangat hati-hati karena khawatir ada orang yang
beliau sakiti. Khawatirkah kita bila ada orang yang kita sakiti menuntut
balas nanti di padang Mahsyar di depan Hakim Yang Maha Agung ditengah
miliaran umat manusia? Jangan-jangan kita menjadi orang yang muflis.
Na’udzu billah…..
Nabi Muhammad sallAllahu ‘alayhi
wasallam ketika saat haji Wada’, di padang Arafah yang terik, dalam
keadaan sakit, masih menyempatkan diri berpidato. Di akhir pidatonya
itu Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam dengan dibalut sorban dan tubuh
yang menggigil berkata, “Nanti di hari pembalasan, kalian akan ditanya
oleh Allah apa yang telah aku, sebagai Nabi, perbuat pada kalian. Jika
kalian ditanya nanti, apa jawaban kalian?” Para sahabat terdiam dan
mulai banyak yang meneteskan air mata. Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam
melanjutkan, “Bukankah telah kujalani hari-hari bersama kalian dengan
lapar, bukankah telah kutaruh beberapa batu diperutku karena menahan
lapar bersama kalian, bukankah aku telah bersabar menghadapi kejahilan
kalian, bukankah telah kusampaikan pada kalian wahyu dari Allah…..?”
Untuk semua pertanyaan itu, para sahabat menjawab, “Benar ya Rasul!”
Rasul
sallAllahu ‘alayhi wasallam pun mendongakkan kepalanya ke atas, dan
berkata, “Ya Allah saksikanlah…Ya Allah saksikanlah…Ya Allah
saksikanlah!”. Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam meminta kesaksian Allah
bahwa Nabi telah menjalankan tugasnya. Di pengajian ini saya pun
meminta Allah menyaksikan bahwa kita mencintai Rasulullah sallAllahu
‘alayhi wasallam. “Ya Allah saksikanlah betapa kami mencintai Rasul-Mu,
betapa kami sangat ingin bertemu dengan kekasih-Mu, betapa kami sangat
ingin meniru semua perilakunya yang indah; semua budi pekertinya yang
agung, betapa kami sangat ingin dibangkitkan nanti di padang Mahsyar
bersama Nabiyullah Muhammad, betapa kami sangat ingin ditempatkan di
dalam surga yang sama dengan surganya Nabi kami. Ya Allah
saksikanlah…Ya Allah saksikanlah Ya Allah saksikanlah”
[Hikmah Maulid Nabi] Meneladani Akhlak Nabi Muhammad SAW.
Catatan Kaki:
Nadirsyah Hosen Dewan Asaatiz Pesantren Virtual
Sumber: Swaramuslim
Admin tidak bertanggung jawab atas semua isi komentar ,Mohon dipahami semua isi komentar dengan bijak