Warga Tionghoa Sumut Menyambut Cheng Beng atau biasa disebut Sembayang Kubur. Hal itu dilakukan guna menghormati leluhur yang telah dahulu berada di surga. Sejak 21 Maret hingga 4 April 2012 mendatang, etnis Tionghoa di
Sumatera Utara mengunjungi pemakaman sanak dan keluarganya untuk
melakukan sembayang kubur atau biasa disebut Cheng Beng. Hal itu
dilakukan guna menghormati leluhur yang telah dahulu berada di surga.
Bagaimana prosesinya?
Cheng Beng ini identik dengan melakukan ritual menghormati para
leluhur. Pelaksanaan Cheng Beng paling ramai terlaksana di Vihara Buddha
Narada Tanjungmorawa. Pasalnya, selain memiliki pekuburan di arealnya,
vihara ini juga memiliki rumah perabuan.
Seorang warga yang melakukan ritual, Dinata Wijaya mengatakan,
sembahyang kubur merupakan bentuk penghormatan kepada leluhur. “Dalam
setahun dilaksanakan dua kali sembayang kubur,” ungkapnya, Minggu
(25/3).
Menurutnya, peralatan sembahyang kubur tergantung marga. Umumnya
buah-buahan seperti jeruk dan apel, lalu daging dan kertas. “Tapi kalau
daging sudah jarang dilakukan,” tutur Dinata.
Dupa dan hio, sambungnya, merupakan peralatan wajib untuk
melaksanakan ritual tersebut. Karena hio itu sebagai penghubung atau
kontak komunikasi antara manusia dengan arwah. “Kita kan punya raga,
tapi mereka tidak punya. Makanya dengan hio ini sebagai simbol
komunikasi kita dengan mereka (arwah leluhur),” jelas Dinata lagi.
Selain vihara ini, tentu pekuburan lain juga tetap bakal dikunjungi
para sanak keluarga. Seperti di Jalan Imam Bonjol Medan, Deli Tua dan
lainnya. Pelaksanaan ritual sembayang kubur ini, kemarin sangat ramai.
Kuburan itu pun terlihat seperti pasar ramai karena banyaknya peziarah.
Sebab, sanak keluarga yang berkecukupan yang sedang berada di luar
negeri diwajibkan pulang untuk melaksanakannya.
Gampang untuk mengetahui makam sudah didatangi sanak keluarga atau
belum. Bisa dilihat dari banyaknya kertas yang ditaburkan di atas makam.
Biasanya, selama sembayang kubur berlangsung, panitia Ceng Beng atau
mengelola pemakaman telah menyiapkan tenaga untuk menjaga keamanan dan
prosesi ritual.
Dari Lubukpakam, kegiatan Cheng Beng terlihat di lokasi penguburan
warga Tionghoa di Jalan Sentiong Kecamatan Lubukpakam sejak pukul 07.00
WIB. Sudah jamak, pada Cheng Beng warga keturunan yang perantauan akan
berkumpul bersama sanak saudaranya, untuk mengikuti kegiatan ziarah.
Seperti yang dialami, keluarga Goh Sui Cai (37) yang khusus datang dari
Jakarta. Goh Sui Cai datang secara berombongan. “Saya sudah lama
merantau ke Jakarta, untuk acara Cheng Beng ini khusus saya sempatkan
pulang ke Lubukpakam untuk berziarah ke makam nenek, kakek, dan
orangtua,” bilang Goh Sui Cai.
Menurutnya, berziarah atau sembayang ke makam leluhur merupakan
kewajiban. Goh Sui Cai sendiri mengaku di pekuburan etnis Tionghoa di
Jalan Sentiong Kecamatan Lubukpakam itu ada 7 makam yang bakal dijiarah,
satu lagi ada makam di pekuburan di Tanjungmorawa.
Sementara itu, Apo yang merupakan pengurus pekuburan etnis Tionghoa Jalan Sentiong Kecamatan Lubukpakam, mengatakan Cheng beng itu dimulai pekan lalu dan diperkirakan hingga tanggal 5 April mendatang. “Bila hari Cheng Beng peziarah berdatangan dari beberapa kota, pasti ramailah,” jelasnya.
Sementara, dari Kabupaten Serdang Bedagai (Sergai), ribuan warga Tionghoa melakukan ritual sembayang kubur di pekuburan Tionghua Dusun IX Desa Firdaus, Kecamatan Sei Rampah. Tak hanya warga Sergai, para peziarah banyak yang berasal dari Jakarta, Bandung, bahkan dari Singapura.
Seperti pantauan Sumut Pos, sejak pagi pukul 08. 00 WIB, ribuan
warga sudah memadati pekuburan orangtua atau leluhur mereka. Tidak itu
saja, hingga siang warga Tionghoa masih terus berdatangan untuk
melakukan sembayang. Para peziarah juga membawa perlengkapan ritual
ziarah kuburan seperti chasi dan khoci yang mana didalamnya terdapat
miniatur penglengkapan sehari-hari seperti sepatu dan penglengkapan
mandi, yang semuanya terbuat dari kertas untuk dipersembahkan kepada
arwah leluhur mereka. “Setiap tahun kami lakukan sebagai penghargaan
terhadap arwah orangtua dan saudara yang wafat. Selain itu juga untuk
mengajari anak, cucu kita untuk selalu menghargai orangtuanya,” ungkap
seorang peziarah Erwan (75) warga Jalan Bintang Medan.
Erwan tidak sendirinya datang bersama keluarganya untuk berziarah di
kuburan orangtuanya. “Saya bersama keluarga ada 9 orang sekitar pukul
10.30 WIB kami tiba di pekuburan ini dan langsung melakukan sembayang
dengan perlengkapan yang sudah disiapkan sebelumnya,” terangnya lagi.
Nah, kalau di Siantar, beberapa lokasi pekuburan Tionghoa di Siantar kemarin juga diwarnai berbagai aktivitas. Seperti di pekuburan di Jalan Ade Irma, sudah sedikit ramai dibandingkan hari biasa. Selain warga Tionghoa yang akan sembayang, polisi juga tampak di lokasi itu untuk menjaga keamanan pelaksanaan sembayang. Selain itu, anak-anak kecil pun tampak ramai disana untuk ikut membersihkan makam yang akan dikunjungi.
Nah, kalau di Siantar, beberapa lokasi pekuburan Tionghoa di Siantar kemarin juga diwarnai berbagai aktivitas. Seperti di pekuburan di Jalan Ade Irma, sudah sedikit ramai dibandingkan hari biasa. Selain warga Tionghoa yang akan sembayang, polisi juga tampak di lokasi itu untuk menjaga keamanan pelaksanaan sembayang. Selain itu, anak-anak kecil pun tampak ramai disana untuk ikut membersihkan makam yang akan dikunjungi.
Salah seorang warga Tinghoa yang baru selesai melaksanakan sembayang
di makam leluhurnya, Veronika menyampaikan bahwa sembayang dilakukan
untuk menghormati leluhur. Mereka juga berharap leluhur tersebut dapat
melindungi dan menjaga keluarga mereka yang masih hidup. “Usai
menghidupkan dupa, maka kami akan menyampaikan doa permohonan kepada
leluhur. Doa yang kami minta seperti untuk pemberian keselamatan,
diberikan rezeki yang bagus dan perdamaian,” jelasnya.
Menurutnya, di pemakaman Jalan Ade Irma ini tidak semua keluarga
mengunjungi makam-makam leluhurnya. Bahkan ada saja makam yang sudah
ditumbuhi rumput-rumput yang tinggi. Terkadang mereka pun terbuka
hatinya untuk membersihkan makam tersebut dan berdoa agar leluhurnya
tetap damai di sana.
Sementara itu, panitia Cheng Beng, Janis Gozali dan Sekretaris Rudy
Wu, mengatakan, sebelumnya mereka sudah berkordinasi dengan Polresta
untuk mengamankan ritual tersebut. “Cheng Beng ini diartikan dan
dipercayai sebagai hari yang baik dan cerah. Kehidupan kita diiringi
hujan gerimis dan memang cocok untuk pelaksanaan ziarah makam. Semoga
pada pelaksanaan Ceng Beng ini kita menyadari bagaimana cara kita
menghormati leluhur,” sebutnya. (saz/btr/mag-16/mua/smg)
Sumber Metropolis
Admin tidak bertanggung jawab atas semua isi komentar ,Mohon dipahami semua isi komentar dengan bijak