Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober Merupakan sejarah pahit dan kelam negeri ini pernah terjadi,PKI
merupakan partai Stalinis yang terbesar di seluruh dunia, di luar
Tiongkok dan Uni Sovyet. Anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah
3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan
serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani
Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk
pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Soekarno menetapkan
konstitusi di bawah dekrit presiden - sekali lagi dengan dukungan penuh
dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan
mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno
menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut "Demokrasi
Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat
untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis
yang dinamakan NASAKOM.
Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan
kaum burjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen
kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan
ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves
menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi
wabah.
Angkatan kelima
Perayaan Milad PKI yang ke 45 di Jakarta pada awal tahun 1965
PKI telah menguasai banyak dari organisasi massa yang dibentuk Soekarno untuk memperkuat dukungan untuk rezim Demokrasi Terpimpin dan, dengan persetujuan dari Soekarno, memulai kampanye untuk membentuk "Angkatan Kelima" dengan mempersenjatai pendukungnya. Para petinggi militer menentang hal ini.
PKI telah menguasai banyak dari organisasi massa yang dibentuk Soekarno untuk memperkuat dukungan untuk rezim Demokrasi Terpimpin dan, dengan persetujuan dari Soekarno, memulai kampanye untuk membentuk "Angkatan Kelima" dengan mempersenjatai pendukungnya. Para petinggi militer menentang hal ini.
Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha menghindari
bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dan polisi dan militer.
Pemimpin-pemimpin PKI mementingkan "kepentingan bersama" polisi dan
"rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman
Umum Bantu Polisi". Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua
anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap sektarian" kepada
angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri
untuk membuat "massa tentara" subyek karya-karya mereka.
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ratusan ribu petani bergerak merampas
tanah dari para tuan tanah besar. Bentrokan-bentrokan besar terjadi
antara mereka dan polisi dan para pemilik tanah. Untuk mencegah
berkembangnya konfrontasi revolusioner itu, PKI mengimbau semua
pendukungnya untuk mencegah pertentangan menggunakan kekerasan terhadap
para pemilik tanah dan untuk meningkatkan kerjasama dengan unsur-unsur
lain, termasuk angkatan bersenjata.
Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan
karet dan minyak milik AS. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki
pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama, jendral-jendral
militer tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet.
Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer
di dalam kabinet Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang
sangat berbahaya bahwa angkatan bersenjata adalah merupakan bagian dari
revolusi demokratis "rakyat".
Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata
di mana ia berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan yang
bertambah kuat setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan
unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis".
Rejim Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang
aksi-aksi mogok di industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena
industri menurut mereka adalah milik pemerintahan NASAKOM.
Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk
pembentukan rejim militer, menyatakan keperluan untuk pendirian
"angkatan kelima" di dalam angkatan bersenjata, yang terdiri dari
pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan mobilisasi
massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang
berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi
pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum
kapitalis negara. Mereka, depan jendral-jendral militer, berusaha
menenangkan bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan
dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa "NASAKOMisasi" angkatan
bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerjasama untuk menciptakan
"angkatan kelima". Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan aspirasi
revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI
masih mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara sedang diubah
untuk memecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara.
Detik Detik Meletusnya Peristiwa G30S PKI Pada Tanggal 30 September 1965
Tidak bermaksud mengangkat kembali cerita sejarah tentang terjadinya
peristiwa meletusnya G30S PKI di negeri, ini kronologi saat terjadinya
pada tanggal 30 September 1965.
Dan ini merupakan bagian sejarah negeri ini, positip dan negatipnya
adalah bagian dari revolusi, dan revolusi ada dimana saja dimuka bumi
ini.
Selagi ada politik bener dan salah hanya pribadi pelaku politik yang
tahu dan baiknya kita bersikap santun dan bermoral dan tetep berjalan
dijalan yang bener.
Marilah kita Bijaksana dalam mencerna apa yang kita denger, kita lihat, kita baca dan kita kerjakan.
Berikut yang terjadi pada tanggal 30 September 1965.
30 September malam : Berkumpul aktivis utama Gerakan 30 September ;
Letkol Untung, Brigjen Supardjo, Kolonel Latief (AD). Letkol Heru
Atmodj, Mayor Sujono dan Mayor Gatot Sukrisno (AU). Aidit dan Sjam
(PKI). Satu batalyon Cakrabirawa, batalyon Raider 454 Diponegoro,
batalyon Raider 530 Brawijaya, dua peleton brigade Latief, pasukan darat
AU, unsure-unsur Pemuda Rakyat dan Gerwani berada di pangkalan Halim
1 Oktober 1965
Dini hari : tujuh regu yang terutama terdiri dari prajurit Cakrabirawa
dan sejumlah kecil sukarelawan Pemuda Rakyat mendatangi rumah 7 perwira
AD, dengan perintah menangkap dan membawanya ke Halim. (Yani, Harjono
dan Panjaitan dibunuh dirumahnya karena melawan, Suprato, Parman dan
Sutojo dibawa ke Halim dalam keadaan hidup, Nasution mampu meloloskan
diri). Dalam waktu yang bersamaan batalyon raider menduduki Lapangan
Merdeka, menguasai istana Presiden, gedung RRI dan pusat Telkom.
05.30 : Suharto dibangunkan tetangganya Mashuri, memberi tahu “kejadian
yang luar biasa terjadi di rumah Nasution dan Panjaitan”. 06.30 :
Suharto di markas Kostrad, Umar menelpon menyampaikan beberapa informasi
dan mendesak Suharto sementara memegang komando atas AD.
07.15 : Pihak pemberontak mengumumkan melalui RRI bahwa Gerakan 30
September adalah suatu kelompok militer yang telah bertindak untuk
melindungi Sukarno dari kudeta yang direncanakan oleh suatu dewan yang
terdiri atas jendral-jendral yang korup dan menjadi kaki tangan CIA.
09.00 : Dari rumah istri ketiganya Ratna Sari Dewi, Sukarno menuju
istana kepresidenan, tetapi membelokkan arah perjalanannya ke Halim
setelah mendapat laporan ada pasukan tak dikenal di Lapangan Merdeka.
Tiba di Halim ia disambut Omar Dhani dan tokoh pemberontak lainnya. Di
Halim presiden kemudian memanggil panglima 4 angkatan guna mengadakan
konsultasi.
11.00 : Gerakan 30 September kembali menyiarkan pengumuman di RRI bahwa ;
telah dibentuk sebuah Dewan Revolusi yang akan “ merupakan sumber
segala kekuasaan dalam Republik Indonesia”.
14.00 : Para prajurit dua batalyon raider yang menduduki Lapangan
Merdeka kepanasan, lelah, lapar dan haus. Para pemimpin kudeta tidak
mengirim perbekalan. Suharto membujuk supaya pasukan Brawijaya datang ke
markas Kostrad.
16.00 : Sukarno memanggil Umar dan Pranoto untuk datang ke Halim, tetapi
Suharto melarang 2 jendral ini pergi. Sukarno kemudian menyusun sebuah
pernyataan bahwa dia sendiri mengambil alih pimpinan AD. Batalyon
raiders Brawijaya bergabung ke Kostrad. Batalyon raider Diponegoro
mundur ke Halim. Suharto kembali menguasai pusat Jakarta tanpa tembakan
peluru. Ketika Martadinata tiba di RRI untuk menyiarkan pernyataan
Sukarno, RRI sudah diambil alih dan Suharto melarang penyiarannya.
19.30 : Setelah seharian sembunyi Nasution akhirnya bergabung di
Kostrad. Sukarno mengirim Bambang Widjonarko untuk menjemput Pranoto ke
Halim. Suharto melarang Pranoto dan berpesan kepada Bambang supaya
mengusahakan agar presiden meninggalkan Halim karena pasukan Kostrad
akan merebut pangkalan udara itu dengan kekerasan.
20.15 : Dinas penerangan AD menyiarkan pengumuman di RRI bahwa ; suatu
“gerakan kontra revolusi” telah menculik Yani dan 5 jendral lainnya.
Pimpinan AD sementara waktu dipegang oleh Suharto dan presiden serta
jendral Nasution dalam keadaan aman.
22.00 : Sukarno meninggalkan Halim menuju istana Bogor. Aidit
meninggalkan Halim menuju Jawa Tengah. Omar Dhani terbang ke Madiun.
Untung meninggalkan pasukannya dan sembunyi di Jakarta.
Tengah Malam : Pemberontakan yang aneh itu berakhir dan sebuah drama besar mulai mengawali kisahnya.
Sumur Lubang Buaya
Pada 30 September 1965, enam jendral senior dan beberapa orang lainnya
dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana
(Cakrabirawa) yang loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh
Letkol. Untung. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu,
Mayjen Soeharto kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan
tersebut.
Korban
Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:
Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani,
Mayjen TNI R. Suprapto
Mayjen TNI M.T. Haryono
Mayjen TNI Siswondo Parman
Brigjen TNI DI Panjaitan
Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo
Jenderal TNI A.H. Nasution juga disebut sebagai salah seorang target namun dia selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan AH Nasution, Lettu Pierre Tandean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.
Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:
AIP Karel Satsuit Tubun
Brigjen Katamso Darmokusumo
Kolonel Sugiono
Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.
Pasca kejadian
Pemakaman para pahlawan revolusi
Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan.
Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama "Tribune".
Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Sovyet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno: "Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam."
Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana di bulan Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha dengan segala kemampuan mereka untuk menghindari pengutukan atas penangkapan dan pembunuhan orang-orang yang dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rejim Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan "penghargaan penuh" atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia."
Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan.
Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama "Tribune".
Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Sovyet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno: "Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam."
Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana di bulan Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha dengan segala kemampuan mereka untuk menghindari pengutukan atas penangkapan dan pembunuhan orang-orang yang dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rejim Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan "penghargaan penuh" atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia."
Supersemar
Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi
Suharto kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia
memerintah Suharto untuk mengambil "langkah-langkah yang sesuai" untuk
mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan
wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh Suharto
untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Sukarno
dipertahankan sebagai presiden tituler diktatur militer itu sampai Maret
1967.
Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim Sukarno-Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada tanggal 24 November, tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto.
Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim Sukarno-Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada tanggal 24 November, tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto.
Penangkapan Simpatisan PKI
Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung
PKI, atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua
partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani
Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk
disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa
Tengah, Jawa Timur dan Bali. Berapa jumlah orang yang dibantai tidak
diketahui dengan persis - perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000
orang, sementara lainnya 2.000.000 orang. Namun diduga setidak-tidaknya
satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti
kudeta itu.
Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan melakukan pembunuhan-pembunuhan massa, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat".
Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan puluhan ribu dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian keji terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan:
"Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatra Utara, di mana udara yang lembab membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius."
Di pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus.
Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis "anti-Tionghoa" terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat.
Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk beberapa dozen sejak tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.
Peringatan 1 Oktober sebagai HARI KESAKTIAN PANCASILA
Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya
Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September. Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pada masa pemerintahan Soeharto, biasanya sebuah film mengenai kejadian tersebut juga ditayangkan di seluruh stasiun televisi di Indonesia setiap tahun pada tanggal 30 September. Selain itu pada masa Soeharto biasanya dilakukan upacara bendera di Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya dan dilanjutkan dengan tabur bunga di makam par apahlawan revolusi di TMP Kalibata. Namun sejak era Reformasi bergulir, film itu sudah tidak ditayangkan lagi dan hanya tradisi tabur bunga yang dilanjutkan.
Pada 29 September - 4 Oktober 2006, diadakan rangkaian acara peringatan untuk mengenang peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di berbagai pelosok Indonesia. Acara yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam rangka memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965" ini berlangsung di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok. Selain civitas academica Universitas Indonesia, acara itu juga dihadiri para korban tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko, Sasmaja, dan Putmainah.
Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September. Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pada masa pemerintahan Soeharto, biasanya sebuah film mengenai kejadian tersebut juga ditayangkan di seluruh stasiun televisi di Indonesia setiap tahun pada tanggal 30 September. Selain itu pada masa Soeharto biasanya dilakukan upacara bendera di Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya dan dilanjutkan dengan tabur bunga di makam par apahlawan revolusi di TMP Kalibata. Namun sejak era Reformasi bergulir, film itu sudah tidak ditayangkan lagi dan hanya tradisi tabur bunga yang dilanjutkan.
Pada 29 September - 4 Oktober 2006, diadakan rangkaian acara peringatan untuk mengenang peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di berbagai pelosok Indonesia. Acara yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam rangka memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965" ini berlangsung di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok. Selain civitas academica Universitas Indonesia, acara itu juga dihadiri para korban tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko, Sasmaja, dan Putmainah.
Kontroversi
Beberapa informasi dalam artikel atau bagian ini belum dipastikan dan
mungkin isinya tidak benar.Tolong diperiksa, dan lakukan modifikasi
serta tambahkan sumber pada bagian yang diperlukan.
Peristiwa ini sampai sekarang masih diliputi banyak misteri. Banyak pertanyaan yang tertinggal, misalnya dugaan bahwa pemberontakan ini mungkin sengaja diciptakan Soeharto untuk merebut kekuasaan dari Soekarno. Juga, ada teori bahwa Soekarno yang melancarkan pembunuhan karena ingin agar kekuasaannya dapat terus berlangsung dan tidak diancam oleh para jenderal angkatan darat.
Peristiwa ini sampai sekarang masih diliputi banyak misteri. Banyak pertanyaan yang tertinggal, misalnya dugaan bahwa pemberontakan ini mungkin sengaja diciptakan Soeharto untuk merebut kekuasaan dari Soekarno. Juga, ada teori bahwa Soekarno yang melancarkan pembunuhan karena ingin agar kekuasaannya dapat terus berlangsung dan tidak diancam oleh para jenderal angkatan darat.
Sumber http://aspal-putih.blogspot.com
Admin tidak bertanggung jawab atas semua isi komentar ,Mohon dipahami semua isi komentar dengan bijak