Kekeliruan Dalam Menyambut Awal Tahun Baru Hijriyah
Bulan Muharram Termasuk Bulan Haram Dalam agama ini, bulan Muharram
(dikenal oleh orang Jawa dengan bulan Suro), merupakan salah satu di
antara empat bulan yang dinamakan bulan haram. Lihatlah firman Allah
Ta’ala berikut. ”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah
dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit
dan bumi, di antaranya empat bulan haram (suci). Itulah (ketetapan)
agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan
yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36)
Ibnu Rajab mengatakan, ”Allah Ta’ala menjelaskan bahwa sejak
penciptaan langit dan bumi, penciptaan malam dan siang, keduanya akan
berputar di orbitnya. Allah pun menciptakan matahari, bulan dan
bintang lalu menjadikan matahari dan bulan berputar pada orbitnya.
Dari situ muncullah cahaya matahari dan juga rembulan. Sejak itu,
Allah menjadikan satu tahun menjadi dua belas bulan sesuai dengan
munculnya hilal. Satu tahun dalam syariat Islam dihitung berdasarkan
perputaran dan munculnya bulan, bukan dihitung berdasarkan perputaran
matahari sebagaimana yang dilakukan oleh Ahli Kitab.”[1]
Lalu apa saja empat bulan suci tersebut ? Dari Abu Bakroh, Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Setahun berputar sebagaimana
keadaannya sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada
dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram (suci). Tiga
bulannya berturut-turut yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram.
(Satu bulan lagi adalah) Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadil
(akhir) dan Sya’ban.”[2]
Jadi empat bulan suci yang dimaksud adalah (1) Dzulqo’dah; (2)
Dzulhijjah; (3) Muharram; dan (4) Rajab. Oleh karena itu bulan
Muharram termasuk bulan haram.
Di Balik Bulan HaramLalu kenapa bulan-bulan tersebut disebut bulan
haram? Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, ”Dinamakan bulan
haram karena dua makna.
Pertama, pada bulan tersebut diharamkan berbagai pembunuhan. Orang-orang Jahiliyyah pun meyakini demikian.
Kedua, pada bulan tersebut larangan untuk melakukan perbuatan haram
lebih ditekankan daripada bulan yang lainnya karena mulianya bulan
tersebut. Demikian pula pada saat itu sangatlah baik untuk melakukan
amalan ketaatan.”[3]
Karena pada saat itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan
amalan ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan
puasa pada bulan haram. Sufyan Ats Tsauri mengatakan, ”Pada
bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.”
Ibnu ’Abbas mengatakan, ”Allah mengkhususkan empat bulan tersebut
sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat
pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang
dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.”[4]
Bulan Muharram adalah Syahrullah (Bulan Allah)Suri tauladan dan
panutan kita, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
”Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada
syahrullah (bulan Allah) yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling
utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.”[5]
Bulan Muharram betul-betul istimewa karena disebut syahrullah yaitu
bulan Allah, dengan disandarkan pada lafazh jalalah Allah. Karena
disandarkannya bulan ini pada lafazh jalalah Allah, inilah yang
menunjukkan keagungan dan keistimewaannya.[6]
Perkataan yang sangat bagus dari As Zamakhsyari, kami nukil dari
Faidhul Qodir (2/53), beliau rahimahullah mengatakan, ”Bulan Muharram
ini disebut syahrullah (bulan Allah), disandarkan pada lafazh jalalah
’Allah’ untuk menunjukkan mulia dan agungnya bulan tersebut,
sebagaimana pula kita menyebut ’Baitullah’ (rumah Allah) atau
’Alullah’ (keluarga Allah) ketika menyebut Quraisy. Penyandaran yang
khusus di sini dan tidak kita temui pada bulan-bulan lainnya, ini
menunjukkan adanya keutamaan pada bulan tersebut. Bulan Muharram
inilah yang menggunakan nama Islami. Nama bulan ini sebelumnya adalah
Shofar Al Awwal. Bulan lainnya masih menggunakan nama Jahiliyah,
sedangkan bulan inilah yang memakai nama islami dan disebut Muharram.
Bulan ini adalah seutama-utamanya bulan untuk berpuasa penuh setelah bulan Ramadhan. Adapun melakukan puasa tathowwu’ (puasa sunnah) pada sebagian bulan, maka itu masih lebih utama daripada melakukan puasa sunnah pada sebagian hari seperti pada hari Arofah dan 10 Dzulhijah. Inilah yang disebutkan oleh Ibnu Rojab. Bulan Muharram memiliki keistimewaan demikian karena bulan ini adalah bulan pertama dalam setahun dan pembuka tahun.”[7]
Bulan ini adalah seutama-utamanya bulan untuk berpuasa penuh setelah bulan Ramadhan. Adapun melakukan puasa tathowwu’ (puasa sunnah) pada sebagian bulan, maka itu masih lebih utama daripada melakukan puasa sunnah pada sebagian hari seperti pada hari Arofah dan 10 Dzulhijah. Inilah yang disebutkan oleh Ibnu Rojab. Bulan Muharram memiliki keistimewaan demikian karena bulan ini adalah bulan pertama dalam setahun dan pembuka tahun.”[7]
Al Hafizh Abul Fadhl Al ’Iroqiy mengatakan dalam Syarh Tirmidzi,
”Apa hikmah bulan Muharram disebut dengan syahrullah (bulan Allah),
padahal semua bulan adalah milik Allah?”
Beliau rahimahullah menjawab, ”Disebut demikian karena di bulan
Muharram ini diharamkan pembunuhan. Juga bulan Muharram adalah bulan
pertama dalam setahun. Bulan ini disandarkan pada Allah (sehingga
disebut syahrullah atau bulan Allah, pen) untuk menunjukkan
istimewanya bulan ini. Dan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sendiri
tidak pernah menyandarkan bulan lain pada Allah Ta’ala kecuali bulan
Allah (yaitu Muharram).[8]
Dengan melihat penjelasan Az Zamakhsyari dan Abul Fadhl Al ’Iroqiy
di atas, jelaslah bahwa bulan Muharram adalah bulan yang sangat utama
dan istimewa.
Menyambut Tahun Baru HijriyahDalam menghadapi tahun baru hijriyah
atau bulan Muharram, sebagian kaum muslimin salah dalam menyikapinya.
Bila tahun baru Masehi disambut begitu megah dan meriah, maka mengapa
kita selaku umat Islam tidak menyambut tahun baru Islam semeriah tahun
baru masehi dengan perayaan atau pun amalan?
Satu hal yang mesti diingat bahwa sudah semestinya kita mencukupkan
diri dengan ajaran Nabi dan para sahabatnya. Jika mereka tidak
melakukan amalan tertentu dalam menyambut tahun baru Hijriyah, maka
sudah seharusnya kita pun mengikuti mereka dalam hal ini. Bukankah
para ulama Ahlus Sunnah seringkali menguatarakan sebuah kalimat,
“Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah
mendahului kita melakukannya.”[9] Inilah perkataan para ulama pada
setiap amalan atau perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh para
sahabat. Mereka menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai bid’ah.
Karena para sahabat tidaklah melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan
segera melakukannya.[10]
Sejauh yang kami tahu, tidak ada amalan tertentu yang dikhususkan
untuk menyambut tahun baru hijriyah. Dan kadang amalan yang dilakukan
oleh sebagian kaum muslimin dalam menyambut tahun baru Hijriyah adalah
amalan yang tidak ada tuntunannya karena sama sekali tidak
berdasarkan dalil atau jika ada dalil, dalilnya pun lemah.
Memeriahkan Tahun Baru Hijriyah
Merayakan tahun baru hijriyah dengan pesta kembang api,
mengkhususkan dzikir jama’i, mengkhususkan shalat tasbih,
mengkhususkan pengajian tertentu dalam rangka memperingati tahun baru
hijriyah, menyalakan lilin, atau membuat pesta makan, jelas adalah
sesuatu yang tidak ada tuntunannya. Karena penyambutan tahun hijriyah
semacam ini tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, para sahabat lainnya, para
tabi’in dan para ulama sesudahnya. Yang memeriahkan tahun baru
hijriyah sebenarnya hanya ingin menandingi tahun baru masehi yang
dirayakan oleh Nashrani. Padahal perbuatan semacam ini jelas-jelas
telah menyerupai mereka (orang kafir). Secara gamblang Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Barangsiapa yang menyerupai
suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”[13]
Penutup Menyambut tahun baru hijriyah bukanlah dengan
memperingatinya dan memeriahkannya. Namun yang harus kita ingat adalah
dengan bertambahnya waktu, maka semakin dekat pula kematian.
Sungguh hidup di dunia hanyalah sesaat dan semakin bertambahnya
waktu kematian pun semakin dekat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Aku tidaklah mencintai dunia dan tidak pula
mengharap-harap darinya. Adapun aku tinggal di dunia tidak lain
seperti pengendara yang berteduh di bawah pohon dan beristirahat, lalu
meninggalkannya.”[14]
Hasan Al Bashri mengatakan, “Wahai manusia, sesungguhnya kalian
hanya memiliki beberapa hari. Tatkala satu hari hilang, akan hilang
pula sebagian darimu.”[15]
Semoga Allah memberi kekuatan di tengah keterasingan. Segala puji
bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Wallohu Alam
Sumber :
http://aslamiyah.abatasa.com/post/detail/14267/kekeliruan-dalam-menyambut-awal-tahun-baru-hijriyah.html
Admin tidak bertanggung jawab atas semua isi komentar ,Mohon dipahami semua isi komentar dengan bijak