J KRISTIADI
Refleksi adalah kemampuan kodrati manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk nonmanusia. Manusia yang tidak memanfaatkan anugerah Tuhan tersebut berarti merendahkan diri sebagai insan submanusia. Kemampuan berkontemplasi itu pulalah yang membuat manusia mencapai peradaban tinggi. Manusia yang tidak mau bermenung akan menjalani hidup sekadar rutin mudah terjebak perbuatan sesat dan menyengsarakan orang lain.
Bertafakur biasanya dilakukan saat akan mengambil keputusan sangat penting. Tahun depan semakin dekat dengan Pemilu 2014. Dalam kehidupan bangsa dan negara, masyarakat, terutama elite politik, sebaiknya mempergunakan momen tersebut untuk mencari terobosan guna membongkar akumulasi kejumudan perilaku politik negara. Tanpa bangkitnya semua komponen bangsa aktif mengambil bagian terobosan politik, pemilu mendatang hanya menjadi rute yang menghasilkan penguasa republik yang semakin tidak peduli kepada rakyat.
Gejala itu tampak dari perilaku politik para elite dalam kurun waktu setahun terakhir. Eskalasi pertarungan kepentingan politik kekuasaan sangat meningkat dengan cepat. Perburuan kekuasaan dilakukan dengan politik fantasi (citra) yang mengandalkan popularitas semu, bukan produk otentik. Misalnya, rancangan regulasi yang dapat menyelesaikan persoalan ketenagakerjaan secara mendasar tidak pernah disentuh. Akibatnya, buruh dan pengusaha merasa sama-sama dirugikan. Konon, investor pun ragu-ragu berinvestasi. Demikian pula kebijakan subsidi bahan bakar minyak yang justru hanya menguntungkan orang kaya dan membuat rakyat menderita tetap dipertahankan.
Limbah politik imaji juga tampak dari sikap negara yang mengesankan ”ogah-ogahan” mengatasi konflik horizontal yang eskalasinya terbentang secara sporadis dari Provinsi Aceh hingga Papua. Penyebab konflik sangat beragam, mulai dari sentimen primordial, ekonomi, ketidakadilan, perburuhan, ataupun agenda politik. Sikap abai juga diberlakukan terhadap masyarakat di sepanjang wilayah perbatasan yang semakin termarjinalkan. Ungkapan petinggi negara bahwa perbatasan adalah halaman depan negara hanya retorika kosong. Kunjungan pejabat negara di daerah tersebut tidak membuahkan apa pun. Artinya, negara melemahkan ketahanan negara di depan mata.
Peristiwa yang lebih membuat rontok martabat negara adalah terbongkarnya skandal dugaan pemalsuan vonis oleh hakim Mahkamah Agung terhadap gembong narkotika. Lembaga yang seharusnya jadi benteng terakhir rakyat kecil mendapatkan keadilan telah melakukan tindakan yang sangat tidak terpuji.
Kemandekan negara juga disebabkan para politisi, terutama anggota parlemen, semakin kesengsem melakukan akrobat politik dengan memanfaatkan daya jangkau penetrasi mereka dalam hampir semua cabang kekuasaan. Mereka sangat leluasa menggoreng isu-isu yang dapat merugikan kepentingannya. Praktik tersebut, antara lain, adalah
rencana merevisi pasal kewenangan penyadapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.
Masyarakat percaya manuver mereka karena ketentuan itu dapat menjebloskan para koruptor kakap dari birokrasi dan parlemen. Agenda yang senapas adalah rencana mempergunakan hak interpelasi terhadap kasus Bank Century. Dalam perspektif desentralisasi, regulasi pemekaran daerah otonom lebih didorong nafsu berkuasa daripada upaya serius mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Pencermatan tersebut menegaskan politik tahun 2012 sarat dengan akrobat dan hegemoni politik citra. Praktik politik jauh dari wilayah refleksi yang memuliakan kodrat manusia. Praktik politik kekuasaan semakin jauh dari wilayah pemaknaan politik sebagai wilayah yang memerdekakan rakyat dari kesengsaraan. Politisi telanjur kecanduan memeluk kepalsuan daripada menghadapi kenyataan. Elite politik semakin terisolasi di wilayah nyaman dan jauh dari suara rintihan masyarakat.
Karena itu, hampir dapat dipastikan tahun depan ranah politik akan didominasi pertarungan ”hidup atau mati” politisi dalam perburuan kekuasaan. Politik akan semakin gaduh dan memekakkan telinga oleh janji- janji petualang politik yang tuli terhadap suara nurani publik. Ketergesaan mereguk kekuasaan juga tampak dalam bursa pencalonan presiden yang asal tubruk tanpa menilai rekam jejak yang bersangkutan.
Namun, skenario gelap tersebut dapat dicegah kalau bangsa Indonesia memanfaatkan Pemilu 2014 sebagai kesempatan untuk melakukan terobosan politik. Pengalaman selama ini membuktikan, kekuatan demokratis masyarakat mempunyai tingkat efektivitas tinggi untuk menekan negara. Misalnya, kegigihan rakyat membela KPK dalam kasus simulator SIM. Masyarakat berhasil meyakinkan Presiden bahwa KPK yang berhak memeriksa kasus tersebut, bukan Polri.
Demikian pula prakarsa masyarakat menawarkan kandidat presiden dalam Pemilu 2014 agar sumber calon tidak didominasi oleh parpol juga mendapat tanggapan positif masyarakat. Kalau upaya itu mendapat dukungan publik, masyarakat akan mempunyai lebih banyak pilihan. Saringan untuk menjaring tokoh-tokoh tersebut dilakukan berdasarkan rekam jejak dan kriteria integritas, kapabilitas, dan akseptabilitas mereka.
Urgensi tersebut dirasakan mendesak karena pasca-Pemilu Presiden 2014 agar diperoleh pemimpin nasional yang realistis serta berani menghadapi risiko dalam mencari solusi yang tepat. Bukan pemimpin yang seperti burung unta, menyusupkan kepalanya di semak kalau menghadapi bahaya. Bangkitlah bangsaku untuk masa depan yang gemilang.
J Kristiadi, Peneliti Senior CSIS
Sumber :
Kompas Cetak
Editor :
Inggried Dwi Wedhaswary
Admin tidak bertanggung jawab atas semua isi komentar ,Mohon dipahami semua isi komentar dengan bijak