Isra Mi’raj dan Perjalanan Menuju Kesempurnaan | “Peringatan Isra’ Mi’raj menguji keteguhan umat Islam, apakah wahyu masih membimbing akal kita, apakah justru kita telah menafikan wahyu lantas keterlaluan asyik dengan logika dalam kehidupan beragama.
Kuasa Allah nyata tak terbatas. Tinggal mengucap “kun” saja, maka terjadilah apa yang menjadi ketentuan-Nya. Apapun yang tak mungkin dalam pandangan manusia, mungkin dan mudah dalam pandangan Allah SWT. Sebagaimana begitu mudahnya Dia memperjalankan Rasulullah SAW dari Makkah ke Baitul Maqdis, dari bumi yang fana ini menuju hadirat-Nya : Sidratul Muntaha. Singkat saja waktu perjalanan yang ditempuh oleh Baginda Nabi. Cuma satu malam. Sampai-sampai hanya Abu Bakar As-Siddiq saja yang betul-betul penuh mempercayai tuturan pengalaman beliau.
Penduduk kota Mekkah yang rata-rata belum menganut Islam malah menertawakan kabar di-mi’raj-kannya Rasulullah SAW. Sebelum Rasulullah SAW di-mi’raj-kan Jibril a.s. “membedah” dada beliau, untuk membersihkan jiwa Baginda Nabi dari ‘debu-debu’ dunia. Kedalam hatinya kemudian didedahkan “iman” dan “hikmah”.
Sebuah pelajaran bagi kita, bahwa untuk menghadap ke hadirat Allah SWT, bahkan seorang Rasul-pun mesti membersihkan diri dari pelbagai kotoran hati, dan menghiasi dirinya dengan akhlaqul karimah. Bekal untuk dapat berjumpa dengan Sang Khaliq yang paling utama adalah kebersihan jiwa. Sebab jiwalah yang menentukan apakah diri kita termasuk Islam, Iman, atau Ihsan. Sebaliknya, hati kita juga yang menentukan, apakah diri termasuk kafir, fasik, musyrik atau seorang munafik.
Saat Baginda Nabi sampai di Baitul Maqdis, Jibril a.s. memerintahkannya untuk menjalankan shalat dua raka’at. Setelah menunaikan shalat dua raka’at di Baitul Maqdis itu, Rasulullah SAW ditawari minum oleh Jibril a.s. Minuman itu adalah arak dan susu. Rasulullah SAW kemudian memilih untuk meminum susu, ketimbang menghirup arak yang harumnya sebenarnya sungguh menggoda indera. Seketika Jibril a.s. berkata lega : “Engkau telah memilih kesucian.” Kemuliaan Baginda Nabi sebagai teladan umat membuat beliau memilih minuman yang berkhasiat. Beliau tahu, jika saja arak yang ditenggak, maka umatnya akan menjadi sekumpulan manusia yang hilang akal, dan kerap dimabukkan oleh segala kenikmatan dunia.
Pada malam Isra Mi’raj itu, Rasulullah SAW menyaksikan pula berbagai peristiwa yang erat kaitannya dengan perilaku umatnya sebagai khalifatullah. Ditunjukkan kepada beliau akhirat, yang terbagi dalam dua wilayah : surga dan neraka. Baginda Nabi menyaksikan betapa penderitaan mereka yang berbuat durhaka. Baik terhadap Allah maupun terhadap sesama manusia. Allah SWT juga telah menunjukkan kepada Rasulullah SAW, bahwa iman dan akidah yang teguh akan mendapat balasan baik dari-Nya. Orang yang rajin beramal saleh, kukuh berjihad di jalan Allah, akan diberi balasan berlipat-ganda. Bak seorang yang sekali menanam, namun hasil yang diperoleh bisa dituai berulang-kali. Baginda Nabi menyaksikan itu terjadi pada keluarga Mashitoh, pembantu Fir’aun yang dibunuh oleh suruhan Fir’aun. Allah SWT telah memuliakan Mashitoh dengan serba kenikmatan. Berkat ketabahannya menggenggam kalimat tauhid : “Tiada Tuhan selain Allah.”
Peristiwa Isra Mi’raj-pun menandaskan kepada manusia, bahwa sesungguhnya Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Mendengar. Nyata Allah telah meringankan kewajiban menunaikan shalat, ketika perintah shalat diturunkan kepada Rasulullah SAW. Bermula dari perintah agar umat Islam mengerjakan shalat 50 kali sehari-semalam. Setelah Baginda Nabi dihimbau oleh Nabi Musa a.s. untuk kembali mengajukan permohonan keringanan (sebanyak 9 kali), Allah SWT telah mengurangkannya hingga 5 kali saja sehari-semalam. Bukan tak niscaya, jika saja Baginda Nabi mengajukan permohonan untuk mengurangi bilangan kewajiban itu, Allah SWT akan mengabulkan permohonannya. Tapi karena besarnya rasa malu Rasulullah SAW terhadap Allah, kendati Nabi Musa a.s. pesimis bahwa umat Islam tak akan lalai dari mengerjakan kewajiban itu, Baginda Nabi tak lagi mengajukan pengurangan jadwal shalat wajib.
Seandainya umat Islam- atau seluruh umat manusia- mengimani bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj ini benar-benar dialami Rasulullah SAW, maka tak akan ada yang lalai dari berbuat benar dan menegakkan shalat lima waktu. Pada hakikatnya, setiap Isra’ Mi’raj diperingati, setiap itu kita diuji. Apakah kita telah khusyuk dan tertib menunaikan kewajiban shalat lima waktu, apakah kita konsisten memilih kebenaran ketimbang keburukan, dan apakah kita percaya betul bahwa umat Islam adalah umat pilihan yang kelak lebih dulu masuk ke surga, daripada umat-umatnya yang lain ? Peringatan Isra’ Mi’raj menguji keteguhan umat Islam, apakah wahyu masih membimbing akal kita, apakah justru kita telah menafikan wahyu lantas keterlaluan asyik dengan logika dalam kehidupan beragama.
Aneh memang, jika masih ada perdebatan tentang bagaimana Rasulullah SAW menempuh perjalanan Isra’ Mi’raj itu. Aneh jika kita masih mengira-ngira apakah Baginda Nabi melakukan perjalanan berikut roh dan fisik, sekadar roh saja, dalam arti Rasulullah SAW mengalami peristiwa Mi’raj hanya dalam mimpi. Keraguan kita sama saja dengan pengingkaran terhadap firman-Nya : “Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsa yang telah kami berkati sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.S. Al-Israa’: Ayat 1).
Menuju Kesempurnaan
Bila perjalanan hijrah menjadi permulaan dari sejarah kaum Muslimin, atau perjalanan Haji Wada yang menandai penguasaan kaum Muslimin atas kota suci Mekah, maka Isra Mi’raj menjadi “puncak” perjalanan seorang hamba menuju kesempurnaan ruhani.
Di sebuah kebun anggur terlihat seorang lelaki dengan kedua kaki penuh luka. Ia tampak begitu kelelahan. Dari wajah tampannya terpancar gurat-gurat kesedihan yang mendalam. Dengan mata berkaca-kaca ia berguman, “Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kurangnya kesanggupanku, dan kerendahan diriku berhadapan dengan manusia. Wahai Dzat yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Engkaulah Pelindung bagi orang lemah, dan Engkau jualah pelindungku! Kepada siapakah diriku hendak Engkau serahkan?
Kepada orang jauh yang berwajah suram terhadapku, ataukah kepada musuh yang akan menguasai diriku? Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka itu semua tak kuhiraukan, karena sungguh besar nikmat yang telah Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung pada sinar cahaya wajah-Mu, yang menerangi kegelapan dan mendatangkan kebajikan di dunia dan di akhirat, dari murka-Mu yang hendak Engkau turunkan kepadaku. Hanya Engkaulah yang berhak menegur dan mempersalahkan diriku hingga Engkau berkenan. Sungguh tiada daya dan kekuatan apapun melainkan atas perkenan-Mu”.
Siapakah lelaki itu? Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW. Fragmen ini terjadi tatkala Beliau bersembunyi di sebuah kebun anggur milik Uthbah bin Rabi’ah untuk menghindari kejaran orang-orang Bani Tsaqif. Mereka mengejar-ngejar dan melempari Rasul setelah beliau mengajak mereka untuk mentauhidkan Allah. Peristiwa ini terjadi pada tahun-tahun terakhir dakwah Rasulullah SAW di Mekah.
Beberapa buku Shirah Nabawiyah mengungkapkan bahwa masa itu adalah masa paling sulit dan menyedihkan dalam kehidupan beliau. Betapa tidak, orang-orang kafir Quraisy semakin menampakkan permusuhannya pada Rasulullah SAW dan para sahabat. Mereka pun telah menghalalkan segala macam cara untuk menghentikan dakwah beliau.
Sebelum peristiwa Tha’if, ada beberapa rangkaian peristiwa menyedihkan yang dialami Rasulullah SAW. Pertama, pemboikotan total yang dilakukan kaum kafir Quraisy terhadap Bani Hasyim dan Bani Abdul Mutthalib. Pemboikotan ini, yang hampir membuat kaum Muslimin mati kelaparan, berlangsung selama tiga tahun. Setelah nestapa itu berlalu terjadi peristiwa kedua, yaitu meninggalnya dua “pelindung” Rasulullah SAW dari kalangan manusia. Mereka adalah Abu Thalib; paman yang selalu melindungi dan menjaga beliau dari intimidasi kaum kafir Quraisy, serta Siti Khadijah; seorang wanita mulia tempat Rasul bersandar, serta berbagi suka dan duka.
Meninggalnya Abu Thalib dan Siti Khadijah tak pelak menjadi pukulan bagi Rasulullah SAW. Perlawanan dan penolakan orang-orang kafir semakin keras. Salah satunya adalah peristiwa pengusiran yang dilakukan penduduk Tha’if. Demikian beratnya beban yang dipikul, Rasul pun harus “curhat” kepada Allah karena merasa tidak mampu membimbing mereka menuju cahaya Islam.
Hiburan dari Allah SWT
Dalam situasi tertekan ini, Allah SWT “menghibur” Rasulullah SAW dengan memperjalankannya ke langit melalui peristiwa Isra Mi’raj. Isra Mi’raj adalah perjalanan spektakuler yang pernah dilakukan manusia. Betapa tidak, Rasulullah SAW melakukan perjalanan malam hari dan dalam waktu yang amat singkat dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsa di Palestina. Dari Al-Aqsa, Beliau naik ke langit melalui beberapa tingkat, menuju Baitul Makmur, Sidratul Muntaha (tempat tiada berbatas), Arasy (takhta Allah), hingga Beliau menerima wahyu langsung dari Allah SWT tanpa perantaraan Jibril.
Isra Mi’raj terjadi pada 27 Rajab, tepatnya satu tahun sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Dalam QS Al-Isra [17] ayat pertama difirmankan, “Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia (Allah) Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Isra Mi’raj tidak sekadar perjalanan “hiburan” bagi Rasul. Isra Mi’raj adalah perjalanan bersejarah yang akan menjadi titik balik kebangkitan dakwah Rasulullah SAW. John Renerd dalam buku In the Footsteps of Muhammad: Understanding the Islamic Experience, seperti dikutip Azyumardi Azra, mengungkapkan bahwa Isra Mi’raj adalah satu dari tiga perjalanan terpenting dalam sejarah hidup Rasulullah SAW, selain perjalanan hijrah dan Haji Wada. “Isra Mi’raj,” tulisnya, “Benar-benar merupakan perjalanan heroik dalam menempuh dunia gaib”.
Bila perjalanan hijrah dari Mekah ke Madinah pada 662 M menjadi permulaan dari sejarah kaum Muslimin, atau perjalanan Haji Wada yang menandai penguasaan kaum Muslimin atas kota suci Mekah, maka Isra Mi’raj menjadi puncak perjalanan seorang hamba menuju Al-Khalik. Isra Mi’raj adalah perjalanan menuju kesempurnaan ruhani (insan kamil). Perjalanan ini, menurut para sufi, adalah perjalanan meninggalkan bumi yang rendah menuju langit yang tinggi. Inilah perjalanan yang amat didambakan setiap pengamal tasawuf.
Menurut Dr Jalaluddin Rakhmat, salah satu momen penting peristiwa Isra Mi’raj terjadi tatkala Rasulullah SAW “berjumpa” dengan Allah SWT. Ketika itu, dengan penuh hormat Rasul berkata, “Attahiyatul mubaarakaatush shalawatuth thayyibatulillah”; “Segala penghormatan, kemuliaan, dan keagungan hanyalah milik Allah saja”. Allah SWT pun berfirman, “Assalamu’alaika ayyuhan nabiyu warahmatullahi wabarakaatuh”. Mendengar percakapan ini, para malaikat serentak mengumandangkan dua kalimah syahadat. Ungkapan bersejarah ini kemudian diabadikan sebagai bacaan shalat.
Sebagai pribadi berakhlak mulia, Rasulullah SAW sangat menjauhi sikap egois. Beliau ingin ucapan salam dan “undangan” Allah tersebut dirasakan segenap umatnya. Beliau kembali ke bumi dengan membawa salam keselamatan dari Allah SWT lewat perintah shalat. Inilah kado spesial dari Allah SWT bagi orang-orang beriman.
Prof Seyyed Hussein Nasr dalam buku Muhammad Kekasih Allah (Mizan, 1993) mengungkapkan bahwa pengalaman ruhani yang dialami Rasulullah SAW saat Mi’raj mencerminkan hakikat spiritual dari shalat yang kita lakukan sehari-hari. “Shalat adalah mi’raj-nya orang-orang beriman,” demikian ungkapan sebuah hadis.
Sabar dan shalat
Andai kita tarik garis merahnya, ada beberapa urutan dalam perjalanan Rasulullah SAW ini. Pertama, adanya penderitaan dalam perjuangan yang disikapi dengan kesabaran. Kedua, kesabaran yang berbuah balasan dari Allah berupa perjalanan Isra Mi’raj dan perintah shalat. Dan ketiga, shalat menjadi senjata bagi Rasulullah SAW dan kaum Muslimin untuk bangkit dan merebut kemenangan.
Ketiga hal ini terangkum dengan sangat indah dalam Alquran, “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. (Yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS Al-Baqarah [2]: 45-46).
Semoga Allah SWT membimbing akal kita dalam menempuh berbagai ujian terhadap aqidah kita sebagai muslim. Semoga moment Isra’ Mi’raj membuat kita sadar, bahwa akal manusia selalu memerlukan bimbingan wahyu. Sebab akal hanya milik manusia yang rendah, sedangkan wahyu murni hanya milik Allah SWT. “Akal dan wahyu tidak boleh dipisahkan, sebab wahyu juga merupakan sumber dan landasan syariat Islam, sementara akal berfungsi sebagai alat untuk memahami syariat Islam yang diturunkan oleh Allah SWT tersebut
Wallahu a’lam bish-shawab
Admin tidak bertanggung jawab atas semua isi komentar ,Mohon dipahami semua isi komentar dengan bijak