Renungan Sebelum Puasa Ramadahan | Kita segera akan memasuki bulan Ramadhan, hari-hari yang mengasyikkan bagi orang-orang yang mencari kesejatian hidup, saat-saat yang menggiurkan bagi setiap manusia yang sadar melakukan peperangan terhadap dunia, nafsu, milik, kekuasaan, dan kesombongan. Allah berkali-kali mengiming-imingi surga, sungai susu, kebun hijau, bidadari dan hidangan-hidangan. Itu adalah idiom tentang surga berdasarkan kepada konteks pengalaman budaya masyarakat.
Ilmu Rasulullah Muhammad, “hanya makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang”, telah menjadi pengetahuan hampir setiap pemeluk Agama Islam, tetapi mungkin belum menjadi ilmu. Puasa demi puasa, Ramadlan demi Ramadlan beserta fatwa demi fatwa yang senantiasa menyertainya dengan segala kerendahan hati harus di katakan memang belum cukup mengantarkan kita dari permukaan pengetahuan menuju kedalaman ilmu.
Aktivitas puasa selalu diartikan - dan memang benar demikian - sebagai peperangan melawan nafsu. Cuma barangkali karena pengetahuan dan ilmu kita tentang musuh yang harus diperangi itu tidak bertambah, maka strategi dan taktik perang kita pun kurang berkembang.
Kalau kita mendengar tentang nafsu makan, asosiasi kita menunjuk ke makan, bukan ke nafsunya. Maka ketika istri kita ke pasar, yang dibeli terutama adalah pesanan-pesanan nafsu, bukan kapasitas kebutuhan makan yang diperlukan. Setiap pelaku puasa punya pengalaman untuk cenderung mendambakan dan menumpuk berbagai jenismakanan dan minuman sepanjang hari, kemudian ketika saat berbuka tiba, ia baru tahu, bahwa perut sama sekali tidak membutuhkan sebanyak dan semewah itu.
Pelajaran yang diperoleh dari peristiwa semacam itu seharusnya adalah kesanggupan memilahkan antara dorongan nafsu dengan kebutuhan makan. Kegiatan puasa jadinya bukanlah pertempuran melawan “tidak boleh makan” atau “tidak adanya makanan”, melainkan melawan nafsu itu sendiri yang menuntut pengadaan lebih dari sekadar makanan.
Puasa adalah penguraian “nafsu” dari “makan”. Untuk tidak makan dari subuh hingga maghrib, putra kita yang baru duduk di kelas III Sekolah Dasar saja pun sudah sanggup. Untuk “tidak makan” jauh lebih gampang dan ringan dibanding untuk “tiak bernafsu makan”, terutama bagi para penghayat “makan yang sejati”. Seorang Sufi yang taraf pergaulannya dengan makan tinggal hanya berkonteks kesehatan tubuh, dalam hidupnya ia tak pernah lagi ingat makan, kecuali ketika perutnya lapar. Ia bukan merekayasa untuk hanya makan ketika lapar, tapi memang betul-betul sudah tak ingat makan sampai perutnya mengingatkan, bahwa ia lapar.
Untuk ingat lapar, cukup perut yang melakukannya, tapi untuk berhenti makan sebelum kenyang, manusia memerlukan dimensi-dimensi rohani tinggi kemanusiaannya untuk mengingatnya. Ia memerlukan nalar ilmu kesehatan tentang makan yang sehat, yakni tentang kurang dan tak lebih. Ia juga memerlukan ilmu dan kearifan yang lebih tinggi untuk melatih ketepatan kapasitas makan, agar ia memperoleh ketepatan pula dalam aktivitas “makan” yang lain di bidang-bidang kehidupan yang lebih luas.
Kita masuk ke toko serba ada dengan segala gemerlap yang tidak memanggil-manggil kebutuhan kita, melainkan mengundang nafsu kita. Saya mohon maaf, bukan saya bermaksud
mematikan nafkah para pedagang, tetapi bermilyar-milyar rupiah dikeluarkan orang untuk membeli pelayanan atas nafsu, bukan pelayanan atas kebutuhan. Program-program pembangunan kita memacu tahyul; mengetalasekan beribu-ribu jenis konsumsi yang tak sejati, yang sebenarnya belum tentu dibutuhkan oleh konsumen. Iklan-iklan industri adalah kendaraan budaya yang mengangkut jutaan manusia dari terminal kebutuhan ke terminal nafsu, dari kesejatian dan kepalsuan. Mereka dicetak untuk merasa rendah atau bahkan merasa tak ada, apabila tidak memiliki celana model ini dan kosmetika model itu. Merk-merk dagang adalah strata tahyul dan klenik. Para pasien di rumah sakit budaya tinggi, budaya gengsi, budaya kelas priyayi, menyerbu warung-warung status modernitas tidak untuk membeli barang, melainkan membeli anggapan-anggapan tentang barang.
Jika orang menjalankan puasa dengan pengetahuan, ilmu, cinta, dan ketaqwaan, ia akan terlatih untuk bertahan pada “makan yang sejati”. Yakni, terlatih untuk mengambil jarak dari nafsu. Terlatih untuk tidak melakukan penumpukan kuasa dan milik, tidak melakukan monopoli, ketidakadilan, serta penindasan, karena telah diketahui dan dialaminya, bahwa itu semua adalah “makanan palsu”.
Tetapi, alangkah sedihnya menyaksikan, betapa dunia ini diisi oleh banyak manusia yang tak henti-hentinya makan, padahal ia tak lapar, serta oleh banyak manusia yang tak habis-habisnya makan, padahal ia sudah amat kekenyangan. Untunglah, bahwa bagi para pelaku puasa sejati, kesabaran untuk menyaksikan keburaman hidup semacam itu bisa justru meningkatkan perolehan kemuliaan dan kesejatiannya.
Admin tidak bertanggung jawab atas semua isi komentar ,Mohon dipahami semua isi komentar dengan bijak