KURANG lengkap rasanya jika berada di Medan tidak menyantap kuliner di kawasan pecinan Medan. Sekali merasakan, Anda pasti akan ketagihan dan ingin merasakan puluhan menu yang ditawarkan lainnya.
Nasi bebek hainan, misalnya. Nasinya yang kecoklatan itu terasa gurih manis di lidah, sementara irisan daging bebek coklat tua kemerahan yang berkilat karena minyak terasa gurih dan lembut di lidah.
”Enak,” begitu komentar Dapot Siagian (35) saat pertama kali menyantap nasi bebek hainan di sudut kaki lima Jalan Semarang, Medan, Sabtu (25/1/2014). Ia datang bersama istri, anak, dan keponakannya. Dalam sekejap, nasi coklat muda berikut irisan daging bebek coklat tua yang berkilat karena minyak itu tandas.
Keponakan perempuan Dapot, yang memesan capcai sayur dan sate bumbu kacang, pun dalam sekejap menghabiskan pesanannya.
Tiap kali makan di Jalan Semarang, keluarga itu mencoba menu baru, saking banyaknya menu yang ditawarkan pedagang di sepanjang Jalan Semarang itu. Dari aneka macam mi, yang berkuah hingga kering, sate, masakan bebek seperti bebek peking atau bebek hainan, kerang, kodok, biawak, ular, nasi sayur, lontong sayur, hingga martabak. Minuman pun beraneka ragam, mulai dari jus, bir, hingga minuman khas Sumut cap Badak. Semua memanjakan lidah.
Malam itu, Suwandi (21) bersama tujuh kawannya, sesama alumni SMA WR Supratman, Medan, juga datang ke Jalan Semarang. ”Asyik saja di sini kumpul ramai-ramai, sambil makan,” tutur Suwandi. ”Kami memang janjian bertemu di sini,” kata dia lagi.
Maka pemandangan keluarga kecil, keluarga besar, kelompok anak-anak muda, hingga orang-orang tua makan bersama di Jalan Semarang menjadi pemandangan biasa. Yang datang pun mencerminkan keragaman suku bangsa di Medan, mulai warga Tionghoa, Batak, Karo, Jawa, India, Nias, hingga Padang. Warga Eropa, baik turis maupun yang bekerja di Medan, biasa terlihat menikmati kuliner di Jalan Semarang.
Bahasa yang muncul pun aneka macam, mulai dari Hokkian, Batak, India, hingga Nias berdasarkan suku bangsa orang yang datang. Komunikasi disatukan satu sama lain dalam bahasa Indonesia.
Wandes Nainggolan (30), warga Tanjung Morawa yang datang bersama tiga anaknya dan dua adiknya, mengaku sebulan sekali makan bersama di Jalan Semarang. ”Enak dan makanannya segar karena kita pesan baru dimasak,” tutur Wandes. Harganya pun terjangkau antara Rp 20.000 dan Rp 30.000 tiap porsi.
Adiknya yang baru datang dari Kalimantan dan baru pertama kali ke Jalan Semarang mengaku menikmati suasana jalan yang dipenuhi pedagang kaki lima itu.
Jalan sepanjang sekitar 200 meter itu pada pagi hari menjadi pusat penjualan onderdil kendaraan di Kota Medan. Begitu toko-toko onderdil itu tutup, Jalan Semarang berganti menjadi pusat kuliner. Mulai pukul 18.00, pedagang-pedagang menata pinggiran kiri-kanan jalan menjadi deretan meja kursi makan.
Kereta dorong makanan dan peralatan masak ditata di tengah jalan menyisakan gang di tengah jalan yang hanya cukup untuk melintas satu mobil. Aktivitas baru berhenti pada pukul 01.00 saat warung-warung kaki lima itu tutup.
Puluhan pedagang makanan sudah bergenerasi berjualan di situ. Weni Nazara (31) mengaku sudah lebih dari 20 tahun berjualan di Jalan Semarang. ”Dulu membantu majikan saya orang Tionghoa,” kata Weni, yang berjualan swike goreng, daging biawak, juga ular.
Saat majikannya meninggal, jualan itu diwariskan kepada Weni dan suaminya, Amat Gea (40). Adapun Yuni (24), pedagang sate padang, mewarisi lapak sate dari bapaknya yang sudah 30 tahun berjualan sate padang. Perempuan keturunan Padang itu merasa nyaman-nyaman saja berjualan di kawasan pecinan.
Menurut tokoh pluralisme Medan, Sofyan Tan (54), Jalan Semarang sudah ada sejak tahun 1960-an. Jalan Semarang menjadi agenda wajib menghabiskan waktu bersama sang kekasih di tahun 1975-an setelah menonton film di bioskop.
Menurut Sofyan, kawasan kuliner awalnya ada di Jalan Surabaya. Sejumlah restoran di Jalan Surabaya berdiri sejak tahun 1930. Restoran-restoran itu melayani kelas menengah di Medan yang berbelanja produk-produk ”branded” di kawasan Jalan Surabaya yang memang terkenal sebagai pusat perbelanjaan elite.
Restoran kelas menengah berkembang mengimbangi perdagangan di Jalan Surabaya hingga kawasan Selat Panjang, yang hingga kini pun menjadi pusat kuliner di Medan.
Berbeda dengan Jalan Semarang yang menggunakan badan jalan, kawasan kuliner di Jalan Selat Panjang lebih pendek dari Jalan Semarang dan berada di ruko-ruko yang lebih nyaman karena permanen. Menunya pun aneka rupa khas pecinan, dari mi hingga bebek, dari makanan berat hingga kudapan aneka rupa.
Kuliner Jalan Semarang, kata Sofyan, muncul kemudian sekitar tahun 1960 dan berkembang pesat 1970 hingga 1980-an. Kebutuhan warga untuk makan selepas berbelanja diduga menjadi pendorong munculnya kawasan kuliner itu.
”Dulu juga ada tiga bioskop di daerah itu, Bioskop Kusuma di Jalan Surabaya, Bioskop Djuwita di Jalan Pandu, dan Bioskop Ria yang kini menjadi Ria Restauran di pojok Jalan Pegadaian,” kata Sofyan. Tiga bioskop itu mendukung keberadaan kuliner Jalan Semarang karena selepas nonton film, orang selalu makan di Jalan Semarang seperti yang selalu ia lakukan.
Meskipun kini bioskop-bioskop itu sudah tutup dan pusat kuliner baru dan mal bermunculan di Kota Medan, keberadaan Jalan Semarang tetap tak tergantikan. Jalan Semarang, juga Jalan Selat Panjang, menjadi salah satu ikon kuliner yang tak terpisahkan dari Kota Medan karena keunikan dan tawaran menu yang enak dan beraneka ragam.
Pakar kuliner William Wongso bahkan mengatakan, meskipun kuliner jalanan, rasa kuliner Medan seperti kuliner hotel berbintang. (kompas-Aufrida Wismi Warastri)
Admin tidak bertanggung jawab atas semua isi komentar ,Mohon dipahami semua isi komentar dengan bijak