Pernikahan yang didasarkan pada perjodohan oleh orangtua ala kisah Siti Nurbaya ternyata bukan sekadar legenda atau dongeng. Di Dusun Kalukue, Desa Tamangapa, Kecamatan Ma'rang, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, hal ini masih berlaku bagi anak-anak gadis.
Bahkan, gadis-gadis belia ini dinikahkan oleh orangtua dalam kondisi masih di bawah umur. Mereka harus menurut pada calon suami pilihan orangtua. Lantas bagaimana kalau tidak patuh pada jodoh yang dipilihkan orangtua?
"Kalau enggak mau biasanya ditakut-takuti, nanti kamu enggak laku-laku, atau akan jadi perawan tua," kata Halima, seorang ibu rumah tangga berusia 19 tahun, yang dijodohkan orangtua pada usia 15 tahun, Kamis (6/2/2014) pekan lalu.
Ketika ditanya apakah dia saat itu memang tidak suka kepada pria pilihan orangtua, Halima langsung mengangguk-angguk. "Ya, enggak berani melawan orangtua," tuturnya lagi.
Halima yang kini sudah mempunyai satu anak itu bertutur, gadis-gadis seusianya saat itu hanya bisa menikah dengan "pilot" alias pilihan orangtua.
"Dia mah, masih mending. Nikahnya sudah usia 15. Saya dulu lulus SD langsung dikawinin," kata Farida, ibu dari lima anak.
Pernikahan ala Siti Nurbaya rupanya juga berlaku di dusun tetangganya, yakni Dusun Kasuarang, masih di Desa Tamangapa.
Desa Tamangapa sebenarnya terkenal dengan sebutan "Desa Organik". Ini karena ibu-ibu di desa ini gemar dan amat bersemangat menerapkan cocok tanam dengan cara organik alias tidak memakai pupuk kimia atau pembasmi hama pestisida.
"Cewek-cewek di sini juga sering dibilang 'cewek organik'. Ini karena mereka asli, enggak dandan menor kayak orang kota. Cantik asli, enggak pakai gincu, bedak," kelakar Nurhaidah, seorang ibu rumah tangga.
Nurjaya, ibu rumah tangga lainnya, membenarkan kalau perjodohan orangtua masih berlaku kuat di desa yang subur, sejuk, dan banyak ditemukan empang-empang ikan itu.
Dilawan dengan pendidikan
Mengapa gadis-gadis yang berada di pesisir Sulawesi Selatan itu begitu pasrah pada perjodohan orangtua?
Pertanyaan ini rupanya menggugah perhatian Oxfam (organisasi kemanusiaan dan bantuan asal Inggris). Setelah ditelisik, rupanya salah satu penyebab adalah rendahnya daya tawar para perempuan terhadap perjodohan orangtua.
Mereka tidak biasa berbicara dengan tegas dan lugas. Gadis-gadis belia itu tidak mampu beretorika dengan baik untuk menolak perjodohan yang dikehendaki orangtuanya. Semua karena faktor rendahnya pendidikan.
Demi meningkatkan pendidikan mereka, termasuk kemampuan beretorika dengan baik, Oxfam menggelar program Restoring Coastal Livelihood (RCL), alias program Penghidupan Masyarakat Pesisir. Salah satunya adalah dengan adanya "Sekolah Lapang".
Dengan Sekolah Lapang, para wanita dibekali pelatihan singkat berbicara, beretorika, dalam susunan kalimat yang baik dan mudah dimengerti.
"Kalau mereka pintar beretorika dengan baik, mereka akan terlatih menentukan nasib sendiri. Tidak lagi cuma pasrah, nasibnya ditentukan orang lain," ujar Boedi Sardjana Julianto, Project Manager RCL untuk kawasan ini.
Kaum wanita desa ini juga didongkrak posisi tawarnya terhadap para suami dengan dibekali kemampuan produktif. Mereka diajari membuat aneka camilan berbahan rumput laut--bahan baku yang amat mudah ditemukan di desa ini karena posisinya di pesisir laut.
Mereka juga diajari bertanam secara organik. Hasilnya dijual, di samping untuk konsumsi sendiri. Tujuannya, kalau mereka bisa mencari uang sendiri, tak selalu meminta untuk segala urusan pengeluaran kepada suami. Maka, posisi tawar mereka pun bisa naik.
"Intinya membuat ibu-ibu lebih pintar dan mandiri," ujar Soni Kusnito, staf lapangan dari Oxfam, yang ikut memberikan pendampingan di Sekolah Lapang.
Hasilnya, desa ini kini jadi salah satu pusat industri rumahan untuk produksi camilan berbahan rumput laut. Produk andalannya adalah snack kacang rumput laut yang dijual hingga Papua, Banjarmasin, sebagian kota di Sumatera, dan tentu di Sulawesi dan Jawa.
Editor : Glori K. Wadrianto
Sumber : Tribunnews.com
Admin tidak bertanggung jawab atas semua isi komentar ,Mohon dipahami semua isi komentar dengan bijak