Bayangkan Anda sedang lapar berat, di luar hujan lebat, warung-warung tutup dan Anda hanya sendirian di rumah. Setelah seluruh bagian rumah Anda teliti dan tak satu pun kau temukan sesuatu yang bisa dijadikan sayur atau lauk pelengkap nasi, tanpa sengaja, Anda akhirnya berhasil menemukan sesuatu yang bisa dijadikan lauk. Anda tentu senang bukan kepalang.
Namun, sayangnya, ini belum matang, Anda harus mengolahnya terlebih dahulu sebelum bisa memakannya. Sayangnya lagi, Anda tidak tahu bagaimana harus memasaknya agar bahan itu bisa enak dimakan. Padahal, Anda sering melihat ibu atau kakakmu memasaknya, hanya saja, Anda tidak pernah memerhatikan cara mereka memasaknya. Yang Anda tahu adalah bahwa makanan ini harus digoreng!
Maka, malam itu Anda menggorengnya dengan “caramu” sendiri. Anda menyiapkan wajan, menuangkan minyak dan menyalakan kompor. Anda langsung memasukkan bahan itu begitu kompor menyala, lalu karena menunggu beberapa lama tidak terlihat tanda-tanda matang, Anda meninggalkannya sebentar untuk pergi ke kamar mandi. Rasanya baru sebentar saja ditinggal, tapi ternyata setelah kembali, Anda dapati gorengan itu sudah gosong ! Anda segera mengangkatnya, dan malam itu terpaksa Anda makan dengan lauk GOSONG!
Saudaraku, kisah di atas hanya sebuah ilustrasi yang berujung pada sebuah simpulan bahwa pengetahuan-pengetahuan kita terhadap sesuatu, sesederhana apa pun ia, kadang menjadi penting, terutama dalam kondisi-kondisi khusus. Bahkan jika sesuatu itu sering kita lihat, temui dan rasakan sebagaimana contoh di atas. Cara menggoreng, sejatinya adalah pengetahuan yang sederhana, tunggu minyak panas, barulah masukkan bahannya. Jangan lupa dibolak-balik agar rata matangnya, misalnya. Itu adalah ilmu menggoreng. Sederhana saja. Tapi bagi yang tidak tahu, menggoreng adalah hal yang sulit. Bahkan mungkin ada yang urung karena tidak tahu cara melakukannya.
Dalam hidup, sebagai seorang Muslim, barangkali banyak juga hal sederhana yang menjadi ganjalan jika tidak kita ketahui ilmunya. Betapa sering saya menyaksikan seseorang yang seharusnya bisa mendapat pahala shalat jamaah, tidak bisa mendapatkannya hanya karena tidak tahu. Dia datang terlambat dan mendapati imam sudah tasyahud akhir. Akhirnya ia memilih shalat sendiri, padahal Rasulullah memerintahkan agar kita mengikuti imam, pada gerakan apa pun kita mendapatinya. Atau orang-orang yang seharusnya bisa shalat berjamaah, tapi justru melakukannya secara sendiri-sendiri, padahal mereka ada di tempat yang sama.
Pada kesempatan lain, sering saya jumpai para penumpang kereta api tidak menjalankan shalat, hanya karena alasan tidak tahu cara melakukannya dalam perjalanan semacam itu. Padahal ada banyak kemudahan yang diberikan dalam kondisi darurat. Sementara di saat yang sama, masih ada saja orang-orang yang memiliki semangat membara justru jatuh dalam kesalahan, karena beramal tanpa didasari ilmu. Misalnya, mereka yang melakukan shalat sunnah ba’da shalat Ashar.
Ketidaktahuan bukanlah sifat yang melekat secara permanen pada manusia. Namun demikian, ada bentuk ketidaktahuan yang melekat karena perbuatannya sendiri, yaitu karena kelalaian seseorang dalam menghilangkannya dengan belajar. Maka belajar, mencari tahu, adalah sebuah keutamaan, sehingga belajar menjadi perintah yang hukumnya wajib bagi setiap muslim. Bahkan membaca yang merupakan jalan untuk belajar menjadi wahyu pertama yang turun: Iqra’. Ya, membaca, membaca buku, membaca peristiwa, dan membaca ilmu dari apa yang tersaji dalam majelis-majelis pengetahuan.
Ketidaktahuan memang ditoleransi dalam Islam, karena tidak semua orang memiliki akses yang sama terhadap ilmu dan sarana mendapatkan pengetahuan. Tetapi bukan berarti bahwa tidak menjadi masalah jika kita tidak tahu, apalagi tidak mau tahu persoalan yang berkaitan dengan kewajiban fardhiyah kita. Karena jika kita tidak mengetahui ilmunya, bagaimana mungkin kita bisa melakukan kewajiban yang dibebankan kepada kita? Maka berlaku kaidah fikih, “Maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib” (jika suatu kewajiban tak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya). Dengan demikian, menuntut ilmu mengenai hal-hal yang terkait kewajiban kita sehari-hari semacam shalat, puasa, halal-haram dan lain-lain menjadi wajib adanya…
Imam Suyuthi Rahimahullah berkata, “Setiap orang yang tidak mengetahui mengenai sesuatu yang telah diharamkan dan diketahui oleh mayoritas masyarakat, ia tidak dimaafkan, kecuali orang tersebut baru mengenal Islam atau hidup di daerah terpencil yang sulit mengetahui hal tersebut” (Al-Asybah wa an-Nazha’ir, h. 220).
Imam al-Muqarri Rahimahullah mengatakan, “Allah ‘Azza wa Jalla telah memerintahkan kepada para ulama untuk menjelaskan hukum-hukum (kepada ahlinya). Maka, tidaklah diterima kebodohan seseorang yang memungkinkan baginya untuk mempelajarinya” (Al-Qawa’id, juz 2, h. 412).
Imam Ibnu Rajab mengatakan, “Jika seseorang yang hidup di negara Islam dalam lingkungan kaum muslimin berbuat zina dan ia mengaku tidak mengetahui bahwa zina telah diharamkan, perkataannya (pengakuannya) tidak dapat diterima, sebab kenyataannya ia telah mendustainya, meskipun pada dasarnya ia tidak mengethui hal itu” (Al-Qawa’id, h. 343).
Nah, maka dari itu, sudah saatnya kita lebih tekun belajar tentang agama kita, minimal yang terkait dengan kewajiban-kewajiban individu kita. Agar tak lagi lewat kesempatan kita beribadah, agar sesuatu yang sejatinya bernilai ibadah tidak menjelma menjadi dosa atau bahkan ma’shiyat. Mulai saat ini, meski sedikit-sedikit, pelajarilah agamamu, karena masa depan akhiratmu ditentukan oleh iman dan amalan yang berlandaskan ilmu.
Wallahu a’lam.
Admin tidak bertanggung jawab atas semua isi komentar ,Mohon dipahami semua isi komentar dengan bijak