Kita segera akan memasuki
bulan Ramadhan, hari-hari yang mengasyikkan bagi orang-orang yang
mencari kesejatian hidup, saat-saat yang menggiurkan bagi setiap manusia
yang sadar melakukan peperangan terhadap dunia, nafsu, milik,
kekuasaan, dan kesombongan. Allah berkali-kali mengiming-imingi surga,
sungai susu, kebun hijau, bidadari dan hidangan-hidangan. Itu adalah
idiom tentang surga berdasarkan kepada konteks pengalaman budaya
masyarakat.
Aktivitas puasa selalu diartikan - dan memang benar demikian - sebagai
peperangan melawan nafsu.
Cuma barangkali karena pengetahuan dan ilmu
kita tentang musuh yang harus diperangi itu tidak bertambah, maka
strategi dan taktik perang kita pun kurang berkembang.
Kalau kita mendengar tentang nafsu makan, asosiasi kita menunjuk ke
makan, bukan ke nafsunya. Maka ketika istri kita ke pasar, yang dibeli
terutama adalah pesanan-pesanan nafsu, bukan kapasitas kebutuhan makan
yang diperlukan.
Setiap pelaku puasa punya pengalaman untuk cenderung
mendambakan dan menumpuk berbagai jenis makanan dan minuman sepanjang
hari, kemudian ketika saat berbuka tiba, ia baru tahu, bahwa perut sama
sekali tidak membutuhkan sebanyak dan semewah itu.
Pelajaran yang diperoleh dari peristiwa semacam itu seharusnya adalah
kesanggupan memilahkan antara dorongan nafsu dengan kebutuhan makan.
Kegiatan puasa jadinya bukanlah pertempuran melawan “tidak boleh makan”
atau “tidak adanya makanan”, melainkan melawan nafsu itu sendiri yang
menuntut pengadaan lebih dari sekadar makanan.
Puasa adalah penguraian “nafsu” dari “makan”.
Untuk tidak makan dari
subuh hingga maghrib, putra kita yang baru duduk di kelas III Sekolah
Dasar saja pun sudah sanggup. Untuk “tidak makan” jauh lebih gampang dan
ringan dibanding untuk “tiak bernafsu makan”, terutama bagi para
penghayat “makan yang sejati”. Seorang Sufi yang taraf pergaulannya
dengan makan tinggal hanya berkonteks kesehatan tubuh, dalam hidupnya ia
tak pernah lagi ingat makan, kecuali ketika perutnya lapar. Ia bukan
merekayasa untuk hanya makan ketika lapar, tapi memang betul-betul sudah
tak ingat makan sampai perutnya mengingatkan, bahwa ia lapar.
Untuk ingat lapar, cukup perut yang melakukannya, tapi untuk berhenti
makan sebelum kenyang, manusia memerlukan dimensi-dimensi rohani tinggi
kemanusiaannya untuk mengingatnya. Ia memerlukan nalar ilmu kesehatan
tentang makan yang sehat, yakni tentang kurang dan tak lebih. Ia juga
memerlukan ilmu dan kearifan yang lebih tinggi untuk melatih ketepatan
kapasitas makan, agar ia memperoleh ketepatan pula dalam aktivitas
“makan” yang lain di bidang-bidang kehidupan yang lebih luas.
Kita masuk ke toko serba ada dengan segala gemerlap yang tidak
memanggil-manggil kebutuhan kita, melainkan mengundang nafsu kita. Saya
mohon maaf, bukan saya bermaksud mematikan nafkah para pedagang, tetapi bermilyar-milyar rupiah
dikeluarkan orang untuk membeli pelayanan atas nafsu, bukan pelayanan
atas kebutuhan.
Program-program pembangunan kita memacu tahyul;
mengetalasekan beribu-ribu jenis konsumsi yang tak sejati, yang
sebenarnya belum tentu dibutuhkan oleh konsumen. Iklan-iklan industri
adalah kendaraan budaya yang mengangkut jutaan manusia dari terminal
kebutuhan ke terminal nafsu, dari kesejatian dan kepalsuan.
Mereka
dicetak untuk merasa rendah atau bahkan merasa tak ada, apabila tidak
memiliki celana model ini dan kosmetika model itu. Merk-merk dagang
adalah strata tahyul dan klenik. Para pasien di rumah sakit budaya
tinggi, budaya gengsi, budaya kelas priyayi, menyerbu warung-warung
status modernitas tidak untuk membeli barang, melainkan membeli
anggapan-anggapan tentang barang.
Jika orang menjalankan puasa dengan pengetahuan, ilmu, cinta, dan
ketaqwaan, ia akan terlatih untuk bertahan pada “makan yang sejati”.
Yakni, terlatih untuk mengambil jarak dari nafsu. Terlatih untuk tidak
melakukan penumpukan kuasa dan milik, tidak melakukan monopoli,
ketidakadilan, serta penindasan, karena telah diketahui dan dialaminya,
bahwa itu semua adalah “makanan palsu”.
Tetapi, alangkah sedihnya menyaksikan, betapa dunia ini diisi oleh
banyak manusia yang tak henti-hentinya makan, padahal ia tak lapar,
serta oleh banyak manusia yang tak habis-habisnya makan, padahal ia
sudah amat kekenyangan. Untunglah, bahwa bagi para pelaku puasa sejati,
kesabaran untuk menyaksikan keburaman hidup semacam itu bisa justru
meningkatkan perolehan kemuliaan dan kesejatiannya.