SEBAGAI sebuah paradigma (tashawwur, fikrah, mabda) dan cara hidup (minhajul hayah), Islam dari segi etimologis mengandung empat pesan fundamental dan universal. Keempat nilai-nilai peradaban itulah yang seharusnya menjadi panduan seorang Muslim.
Memeluk Islam sesungguhnya mencari jalan keselamatan. Menambah kebaikan-kebaikan (kehidupan yang berkah).
Karena dengan berislam, sesungguhnya media untuk membersihkan hati. Jika hati manusia bersih, maka seluruh anggota tubuhnya akan bersih pula. Kebersihan hati akan berefek pada kebersihan pikiran dan perilaku.
Orang yang bersih hatinya malu jika kebaikannya diketahui orang. Sebagaimana malunya ketika cacatnya terbongkar. Maka ia selalu merahasiakan amalnya sebagaimana menyembunyikan sisi gelap dirinya. Orang yang ikhlas takut terkenal. Jika terpaksa dikenal, maka ia memperoleh dua pahala. Yakni ajrul ikhlas wa ajrusy syuhrah (pahala keikhlasan dan pahala populer).
Keikhlasan adalah modal utama seorang beriman untuk bertemu dengan Allah SWT.
(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih (QS. Asy Syu’ara (26) : 88-89)
Di sini keislaman seseorang diukur dari keterampilannya dalam menjalin komunikasi dengan siapapun. Karena, inti keberagamaan seseorang adalah pandai bergaul (ad-Dinu huwal mu’amalah). Kualitas kecintaan keislaman seseorang berbanding lurus dengan kecintaannya kepada Al-Khalik dan al-Makhluk. Muslim berarti terbuka, lapang dada, dan berjiwa besar. Sedangkan kafir adalah sosok yang inklusif (menutup diri). Berjiwa kerdil.
Dia tidak ingin berbagi, tetapi mengedepankan tuntutan hak. Ia berpandangan bahwa berbagi itu mendatangkan kerugian material. Karenanya, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang kafir, orang-orang fasiq, orang-orang yang berbuat aniaya. Prinsip seorang Muslim adalah musuh satu dianggap banyak, teman seribu dipandang sedikit. Orang Islam memandang orang lain sebagai anugrah, mitra, mafatihul khair (pembuka kunci kebaikan), bukan rival (pesaing). Sekalipun dipandang pesaing, tetapi dalam kaca mata positif. Berlomba-lomba dalam kebaikan, fastabiqul khairat. Persaingan yang sehat, bukan persaingan yang negatif.
Karena berislam sesungguhnya memenuhi aspirasi jiwa. Memberdayakan fitrah manusia. Al-Haq Yang Maha Benar, menciptakan manusia dengan fungsi menegakkan al-Haq (iqamatul haq). Fitrah manusia itu mengingkari sesuati yang bertentangan dengan hati dan setuju dengan sesuati yang dikanali hati. Senang kepada kejujuran dan benci kepada kebohongan. Rasulullah Saw bersabda : Kebenaran itu mendatangkan ketengan jiwa dan kebohongan itu melahirkan skeptis (keragu-raguan).
Kebenaran itu bukan milik bangsa, perorangan, tetapi milik semua insan. Semua manusia sama posisinya di depan kebenaran. Kebenaran itu suci, sama sucinya dengan yang menurunkannya. Sekalipun kebenaran itu diperkosa, akan tetap mulia. Dan suatu saat mempelihatkan wujudnya. Maka, manusia yang menodai kebenaran akan merasakan gugatan batin (al inhizam an nafsiyyah).
Penegak kebenaran dan keadilan itu, eksistensinya tetap legitimid dan dirindukan, dan kepergiannya ditangisi, sekalipun sendiri dan dalam sepi. Sedangkan kebatilan itu akan sirna bersama dengan berlalunya massa, sekalipun didukung dengan kekuatan militer dan modal (finansial) yang cukup.
Pejuang nilai-nilai ketuhanan (al-Haq) itu mendatangkan nilai-nilai ekonomi. Kesejahteraan lahir dan batin. Bahagia di dunia dan selamat di akhirat. Bagi mereka kabar gembira di dunia dan akhirat.
لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَياةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ لاَ تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat. tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (QS. Yunus (10) : 64)
Sebaliknya, berpaling dari Islam akan mengantarkan kepada kerumitan hidup di dunia, dan siksa di akhirat lebih menyakitkan dan memberatkan.
Di antara indikator mutu keislaman seseorang adalah mudah harmonis dan mudah diharmoniskan, tiada kebaikan sedikitpun keimanan seorang yang tidak mudah jinak dan mudah dijinakkan dengan sesama (al-Hadits).
Karena orang beriman itu hanya menomorsatukan kepentingan Allah Subhanahu Wata’ala , ridha Allah. Ia siap lebur untuk didominasi oleh kepentingan itu. Slogan orang bermiman “Allahu Ghoyatuna” (Allah puncak tujuan hidup kami). Orang beriman itu bagaikan lebah, jika ia mengkonsumsi sesuatu berupa putik bunga mawar dan bila mengeluarkan sesuatu berupa madu, dan jika hingga di daun tidak merusaknya (al-Hadits).
Di manapun kaum muslimin berada, maka lingkungan sosialnya selamat dari mulutnya, tangannya. Dan dalam sebuah komunitas, sifat yang dikedepankan adalah berbicara yang baik atau diam. Suka menghormati tetangga dan tamu. Ia yakin jika sukses menjalin komunikasi dengan orang-orang terdekatnya, merupakan modal untuk berinteraksi dengan lintas golongan, etnis, suku dan partai.
Sedangkan orang Yahudi pada ayat di atas bagaikan lalat. Tempatnya di sekitar sampah dan tempat pembuangan kotoran, kemanapun ia pergi membawa penyakit. Ada dua konsep yang menjadi term utama komunitas Yahudi. Pertama, farriq tasud (mereka suka membuat konflik), Kedua, farriq, tu’rof (berbeda, supaya dikenal).
لَا يُقَاتِلُونَكُمْ جَمِيعاً إِلَّا فِي قُرًى مُّحَصَّنَةٍ أَوْ مِن وَرَاء جُدُرٍ بَأْسُهُمْ بَيْنَهُمْ شَدِيدٌ تَحْسَبُهُمْ جَمِيعاً وَقُلُوبُهُمْ شَتَّى ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا يَعْقِلُونَ
“Mereka tidak akan memerangi kamu dalam keadaan bersatu padu, kecuali dalam kampung-kampung yang berbenteng atau di balik tembok permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. kamu kira mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah belah. yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengerti.” (QS. Al-Hasyr (59) : 14).
Rasulullah bersabda : “Persatuan adalah rahmat (kasih sayang) dari Allah dan perpecahan adalah siksa.” (al-Hadits).
Karakter utama orang Islam senang mewujudkan, memelihara dan membela eksistensi ukhuwwah Islamiyah. Karena ia yakin karunia terbesar dalam kehidupan ini persaudaraan setelah nikmat Iman.
Lebih baik kalah, tetapi tetap solid daripada menang tetapi bercerai. Kemenangan yang tidak melahirkan persatuan, melahirkan konflik baru yang lebih dahsyat. Sedangkan karakter dasar orang Yahudi suka merawat dan melestarikan persatuan. Karena ia memposisikan diri sebagai srigala bagi yang lain. Pameo mereka, hari ini apa yang bisa dimakan, dan besok siapa yang kita makan.
Jadi berislam itu mengajarkan sikap independen. Ia hanya bersedia sebagai hamba Allah . Bukan hamba kepentingan, hamba kekuasaan, hamba wanita, hamba perut, hamba farji, hamba mayoritas dan hamba minoritas. Ia hanya mengakui kebenaran mutlak itu bersumber dari-Nya.
Muslim memahami cara berakhlak kepada Al-Khaliq. Mencintai, mengagungkan, beribadah (ngawula), sami’na wa ‘atha’na terhadap segala ketentuan yang ditulis maupun yang tidak tertulis (kalimatullah dan khalqullah).
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al Anam (6) : 162).*
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah
Rep: -
Editor: Cholis Akbar
Admin tidak bertanggung jawab atas semua isi komentar ,Mohon dipahami semua isi komentar dengan bijak