Sama sekali berkebalikan dengan jati diri orang-orang Barat yang menjadikan akal dan hawa nafsu manusia sebagai standar untuk menentukan bagaimana manusia menjalani kehidupan, jati diri Islam berlandaskan pada keyakinan bahwa Sang Pencipta manusia dan alam semesta adalah satu-satunya Zat yang mempunyai kedaulatan dan otoritas untuk menentukan bagaimana umat manusia menjalani kehidupannya. Lebih dari itu, Dia-lah satu-satunya Zat yang menciptakan manusia, berikut naluri dan kebutuhan fisik yang dimilikinya, dan bahwa Dia-lah yang paling tahu bagaimana cara terbaik untuk mengatur mereka.
Pandangan hidup sekuler Barat mengemban konsep kebebasan pribadi yang menetapkan bahwa kaum laki-laki dan perempuan memiliki kebebasan untuk menentukan bagaimana mereka berbusana, bagaimana mereka berpenampilan, bagaimana semestinya mereka memandang lawan jenisnya, bagaimana model pergaulan di antara mereka, apa peran mereka dalam kehidupan rumah tangga dan di tengah-tengah masyarakat, serta bagaimana seharusnya mereka bertingkah laku.
Sebaliknya, kaum Muslim, baik laki-laki maupun perempuan, menjalani kehidupan mereka atas dasar keyakinan bahwa mereka harus mempertanggungjawabkan setiap perbuatan mereka di dunia kepada Sang Khaliq. Oleh karena itu, kaum Muslim paham bahwa mereka harus mengembalikan setiap permasalahan pada hukum dan aturan, serta pada standar halal dan haram yang telah ditetapkan oleh Sang Khaliq.
Oleh karena itu, kaum Muslimah tidak menjadikan akal pikiran dan hawa nafsunya sebagai penentu bagaimana mereka mendefinisikan kecantikan, penampilannya, atau bagaimana mereka menilai dirinya; tetapi mereka mengembalikan semua permasalahan tersebut kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Bagi kaum Muslim, hawa nafsu tidak boleh menjadi standar dalam menentukan bagaimana mereka melihat dan memperlakukan kaum perempuan; tetapi mereka menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai standar. Allah Swt berfirman dalam Surat al-Ahzab:
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. al-Ahzab [33]: 36)
Islam tidak menentukan konsep yang pasti mengenai kriteria “Wanita Cantik”, dan juga tidak menentukan bagaimana penampilan seorang perempuan agar nampak kecantikannya. Oleh karena itu, dalam Islam tidak terdapat harapan-harapan yang tidak wajar yang mesti diraih oleh perempuan, maupun diharapkan oleh kaum laki-laki. Namun demikian, Islam memang membahas konsep tentang bagaimana seorang Muslimah harus berpenampilan pada berbagai kesempatan, dan kepada siapa saja ia dapat sepenuhnya menunjukkan kecantikannya.
Di depan laki-laki yang bukan mahramnya, atau kalangan yang boleh menikah dengannya, seorang Muslimah diwajibkan berpenampilan sesuai dengan syariat, yaitu menutup seluruh bagian tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Selain itu, busana yang dikenakannya tidak boleh terlalu tipis sehingga kulitnya bisa kelihatan, dan juga tidak boleh terlalu ketat sehingga tampak bentuk tubuhnya.
Dengan demikian, seluruh bagian tubuh perempuan, termasuk lehernya, kakinya, dan rambutnya (meski hanya sehelai saja) –selain wajah dan kedua telapak tangannya– merupakan aurat, yang haram ditampakkan di depan laki-laki yang bukan mahramnya. Segala bentuk pengecualian atas ketentuan ini harus ditetapkan melalui nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah, bukan akal manusia.
Dalam satu hadits yang diriwayatkan ‘Aisyah ra, beliau berkata bahwa Asma’ binti Abu Bakar telah memasuki rumah Rasulullah saw dengan memakai busana yang tipis, maka Rasulullah saw pun berpaling seraya berkata:
Wahai Asma’, sesungguhnya perempuan itu jika telah baligh tidak pantas untuk ditampakkan dari tubuhnya kecuali ini dan ini – sambil menunjuk telapak tangan dan wajahnya.
Dalam surat an-Nur, Allah Swt berfirman:
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.
Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. (QS. an-Nur [24]: 31)
Ibnu Abbas menafsirkan kalimat “yang (biasa) nampak daripadanya” sebagai wajah dan kedua telapak tangan.
Selain itu, di depan laki-laki yang bukan mahramnya, seorang perempuan juga tidak boleh memakai pakaian, perhiasan, dan menggunakan dandanan yang akan menarik perhatian laki-laki atas kecantikannya (tabarruj). Sebagaimana firman Allah Swt dalam surat al-Ahzab:
Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu. (QS. al-Ahzab [33]: 33)
Kemudian, apabila seorang perempuan keluar rumah dan memasuki kehidupan umum (ruang publik), penampilan atau pakaian yang diwajibkan baginya adalah khimar, yakni penutup kepala yang menutup seluruh bagian kepala, leher, dan bagian bahu seputar dada; serta jilbab, yaitu kain panjang yang menutup pakaian kesehariannya dan diulurkan sampai ke bagian bawah.
Apabila seorang perempuan keluar rumah tanpa kedua macam pakaian ini maka ia memperoleh dosa, karena telah mengabaikan perintah Sang Khaliq Swt. Dalilnya sangat jelas, sebagaimana tersebut dalam ayat berikut ini yang memerintahkan pemakaian khimar:
Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya. (QS. an-Nur [24]: 31)
Sementara itu, dalam surat al-Ahzab, Allah Swt mewajibkan jilbab:
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". (QS. al-Ahzab [33]: 59)
Selain itu, dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Ummu ‘Athiyah, bahwa ia berkata:
Rasulullah saw memerintahkan kami, baik ia budak perempuan, perempuan haid, ataupun anak-anak perawan agar keluar (menuju lapangan) pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Bagi perempuan yang sedang haid diperintahkan untuk menjauh dari tempat shalat, tetapi tetap menyaksikan kebaikan dan seruan atas kaum Muslimin. Aku lantas berkata, ‘Ya Rasulullah, salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab’. Maka Rasulullah pun menjawab, ‘Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbab kepadanya.’
Bagi Muslimah, yang dimaksud dengan kecantikan (kebaikan) adalah manakala ia mengikuti hukum-hukum dan aturan Allah Swt, sedangkan keburukan adalah tatkala ia mengesampingkan aturan tersebut dan menuruti hawa nafsunya. Ia tidak boleh mengikuti ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh manusia.
Upaya untuk mendapatkan penampilan dan perilaku yang ditentukan Allah Swt tersebut jelas masih berada dalam batas-batas kemampuan setiap perempuan, dan pasti tidak akan menimbulkan berbagai macam permasalahan, seperti gangguan pola makan yang diakibatkan karena harapan-harapan yang tidak wajar untuk memperoleh penampilan, ukuran tubuh, dan bentuk tubuh tertentu yang harus dipenuhi oleh kaum perempuan Barat.
Sekalipun Islam tidak memiliki konsep yang pasti tentang kriteria “wajah atau bentuk tubuh yang cantik”, namun kaum Muslimah didorong untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang membuat penampilannya menarik hati suaminya, seperti berdandan untuk suaminya serta berpenampilan yang rapi dan bersih. Kaum Muslimah tahu bahwa tindakan seperti itu akan mendatangkan ridla Allah Swt.
Namun ketika melakukan upaya mempercantik diri tersebut –seperti memperindah bentuk tubuh atau memutihkan wajahnya– kaum Muslimah harus menyadari bahwa itu semua sama sekali bukan dimaksudkan untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma yang berlaku di tengah-tengah masyarakat, namun semata-mata untuk menuruti batas-batas yang ditentukan Allah Swt baginya. Demikian pula para suami Muslim, ketika menentukan apa yang disukai dan apa yang dibenci, mereka harus dapat memastikan bahwa sikap mereka itu bukan semata-mata karena menuruti harapan-harapan yang tidak wajar dari masyarakat Barat.
Admin tidak bertanggung jawab atas semua isi komentar ,Mohon dipahami semua isi komentar dengan bijak