10 Tokoh Keturunan Tionghoa Berpengaruh Bagi Indonesia .Warga keturunan Tionghoa sering mendapatkan perlakuan diskrimatif karena ras yang berbeda. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga negara-negara lain yang menjadi tujuan imigrasi nenek moyang mereka dari Tiongkok Daratan yang berlayar mengarungi samudera beratus-ratus tahun yang lalu.
Di Indonesia sendiri, bangsa Tiongkok pertama kali menjalin hubungan dengan pribumi lewat perdagangan. Seiring dengan berjalannya waktu, banyak dari mereka yang menikahi warga pribumi dan mendapatkan keturunan sehingga akhirnya menetap di Tanah Air. Setelah menjadi warga negara Indonesia, tak sedikit dari mereka yang menjelma menjadi seorang tokoh nasional. Banyak di antaranya yang ikut serta mendirikan negara Republik Indonesia, walaupun tak banyak yang mengenalnya. Berikut 7 tokoh nasional keturunan Indonesia-Tionghoa yang berjasa terhadap nusa dan bangsa.
1. Laksamana Muda TNI (Purn) John Lie
Laksamana Muda TNI (Purn) John Lie atau Jahja Daniel Dharma merupakan seorang perwira tinggi Angkatan laut yang sarat pengalaman dan juga jasa. Mengawali perjalanan hidup sebagai seorang pelaut, John Lie ikut sebuah kapal dagang Belanda sebelum bergabung dengan Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi dan akhirnya menjadi Kapten di Angkatan Laut Republik Indonesia.
Ia berjasa mengawal barang-barang yang ditukar dengan senjata di Singapura untuk melawan pemerintah Belanda. Oleh karena terlalu tenggelam dalam kehidupannya sebagai tentara Indonesia, ia baru sempat menikah ketika usianya menginjak 45 tahun. Laksamana Muda John Lie meninggal pada 27 Agustus 2008. Ia mendapat gelar Bintang Mahaputera Utama dari mantan presiden Soeharto pada 1995 dan Bintang Mahaputera Adiprana serta Pahlawan Nasional oleh Presiden SBY pada 2009.
2. Djiaw Kie Song
Peristiwa Rengasdengklok mungkin tak akan pernah terjadi tanpa adanya campur tangun Djiaw Kie Song. Ia rela membiarkan rumahnya dijadikan tempat “penyanderaan” Sukarno dan Hatta oleh para tokoh pemuda di antaranya Sukarni, Chaerul Saleh, dan Adam Malik pada Kamis, 16 Agustus 1945. Djiaw Kie Song adalah seorang petani biasa yang tingal di Dusun Bojong, Rengasdengklok, Karawang. Sekarang rumah tersebut masih ditinggali oleh keluarganya. Sebelum meninggal pada 1964, Djiaw berpesan agar keluargany tak boleh meminta imbalan apapun dari orang lain. Setiap orang yang ingin tahu sejarah rumah itu harus dilayani. Djiaw pernah mendapatkan piagam penghargaan dariMayjen Ibrahim Adjie pada 1961 ketika ia menjabat sebagai Pangdam Siliwangi.
3. Abdurrahman Wahid
Mungkin tak banyak yang tahu, namun Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur pernah menyatakan bahwa ia mempunyai darah Tionghoa mengalir dalam nadinya. Dengan terbuka ia mengakui bahwa ia masih memiliki garis keturunan dari Tan Kim Han yang menikahi Tan A Lok yang merupakansaudara Raden Patah (Tan Eng Hwa) yang mendirikan Kesultanan Demak. Menurut riset yang dilakukan seorang peneliti berkebangsaan Prancis, Louis Charles Damais, Tan Kim Han dikenal sebagaiSyekh Abdul Qodir Al-Shini yang dimakamkan di situs sejarah Trowulan.
4. Lauw Chuan Tho
Bersama beberapa tokoh keturunan Tionghoa lain seperti sejarawan Ong Hok Ham dan pendiri harian Kompas, P.K. Ojong, Lauw Chuan Tho turut terlibat dalam pencetusan Piagam Asimilasi yang menganjurkan agar warga keturunan Tionghoa sepenuhnya berasimilasi dengan masyarakat Indonsia.Lauw Chuan Tho memeluk Islam pada 1979 dan mulai dikenal sebagai Junus Jahja. Ia menjadi penyokong berdirinya Masjid Lautze di Jakarta serta Yayasan Haji Karim Oei. Junus Jahja yang pernah dilantik menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung pernah dianugerahi gelar Bintang Mahaputra.
5. Siauw Giok Tjhan
Siauw Giok Tjhan yang lahir di Surabaya pada 1914 merupakan salah seorang tokoh pejuang yang berhasil membawa Indonesa keluar dari belenggu penjajahan Belanda. Siauw Giok Tjhan yang juga ahli bela diri kung fu ini tercatat pernah menjadi Ketum Baperki, anggota BP KNIP, Menteri Negara, anggota parlemen RIS dan DPR, serta anggota DPRGR/MPRS juga anggota DPA. Ia turut berkontribusi pada pendirian Universitas Trisakti yang dulu bernama Universitas Res Publika.
6. Lie Eng Hok
Lie Eng Hok dikenal luas sebagai tokoh Perintis Kemerdekaan Indonesia pada masa pergerakan melawan penjajah Belanda. Ia adalah salah satu tokoh yang memimpin pemberontakan 1926 di Banten. Waktu itu, bersama rekan-rekan seperjuangannya ia merusak jalan, rel kereta api, jembatan, rumah-rumah dan kantor-kantor Belanda untuk menunjukkan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial yang menindas masyarakat. Eng Hok juga dikenal sebagai wartawan Surat Kabar Sin Po. Ia memilih menjadi penambal sepatu untuk menyambung hidup daripada mengabdikan diri pada penjajah Belanda. Pada 22 Januari 1959, Lie Eng Hok mendapat gelar Pahlawan Perintis Kemerdekaan RI.
7. Soe Hok Gie
Soe Hok Gie merupakan tokoh keturunan Tionghoa termuda dalam daftar ini. Walaupun meninggal pada usia muda (26 tahun), ia mewariskan idealisme kokoh khususnya kepada para mahasiswa Indonesia yang rajin berdemo di jalanan untuk menentang pemerintahan yang tidak mementingkan kepentingan rakyat. Soe Hok Gie merupakan pemuda cerdas yang berani melontarkan kritik bahkan terhadap gurunya sendiri sewaktu ia mendapati gurunya bertindak otoriter. Mantan mahasiswa Jurusan Sejarah Universitas Indonesia ini sangat vokal dalam usaha penggulingan pemerintahan Orde Lama yang dianggapnya korup dan tidak lagi memedulikan rakyat.
Tulisan-tulisannya yang sudah dihimpun menjadi beberapa buku menjadi buku wajib para aktivis mahasiswa. Hok Gie yang merupakan seorang pecinta alam meninggal secara tragis pada 1969 sehari sebelum hari ulang tahunnya di Gunung Semeru akibat menghirup gas beracun. Seorang kawannya, Idhan Lubis, juga turut meninggal di lokasi yang sama.
8. Yap Thian Hien
Tidak ada yang tidak mengenal nama yang satu ini, terutama bagi para aktivis. Ya, namanya diabadikan menjadi penghargaan bagi orang-orang yang terus berjuang demi penegakan hak asasi manusia di negeri ini.
Yap adalah pengacara yang secara konsisten memperjuangkan hak asasi manusia. Di era Presiden Sukarno, ia menulis artikel yang mengimbau agar presiden membebaskan sejumlah tahanan politik, seperti Subadio, Sjahrir, Mohammad Natsir, Mohammad Roem dan Princen. Ia juga membela pedagang Pasar Senin yang areanya tergusur oleh pemilik gedung.
Yap membela tanpa memandang etnis, agama, atau latar belakang lainnya. Ia anti komunis, tetapi maju membela para tahanan politik tersangka G30S seperti Abdul Latief, Asep Suryawan dan Oei Tjoe Tat. Ia seorang Kristen yang taat tetapi membela para aktivis Islam tersangka peristiwa Tanjung Priok tahun 1984.
Sebelumnya di tahun 1974, ia membela para aktivis mahasiswa yang menjadi tersangka kasus Malari. Akibatnya, Yap ditahan tanpa melalui proses pengadilan.
Yap membuktikan bahwa tidak ada hubungannya nasionalisme dengan nama. Terbukti, ia tetap menggunakan nama Tionghoanya sampai akhir hayat. Salah satu pelopor berdirinya Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) ini meninggal tahun 1989 di Belgia akibat pendarahan usus.
9. Arief Budiman
Kakak Soe Hok Gie ini bernama asli Soe Hok Djin. Bersama-sama sang adik, ia menjadi aktivis angkatan 66 yang punya andil menumbangkan Orde Lama.
Sekalipun ikut membidani lahirnya Orde Baru, tidak membuat Arief diam saja melihat penyimpangan yang terjadi dalam rejim tersebut. Jika kita pernah mendengar istilah Golongan Putih atau Golput, nah itu adalah ide cetusan Arief dan kawan-kawannya sebagai tandingan Golongan Karya (Golkar) yang dianggap menyimpang dari tujuan pertama Orde Baru.
Nama Arief menjadi dikenal luas saat mengajar di Universitas Kristen Satywa Wacana (UKSW), Salatiga. Ia memprotes pemilihan rektor yang tidak transparan dan melakukan mogok mengajar.” Terbuang” dari UKSW, Arief justru bersinar di Australia dengan menerima tawaran menjadi profesor di Universitas Melbourne.
Bulan Agustus 2006, ia mendapat penghargaan Bakrie Award di bidang penelitian bidang sosial, tetapi Arief beranggapan penghargaan ini adalah penghinaan karena ia adalah”orang kiri yang menolak modernisasi dan pembangunanisme” tetapi ia mendapat penghargaan dari”orang kanan”.
Lulusan Fakultas Psikologi UI ini menikah dengan Leila Ch, seorang psikolog yang sempat mengasuh rubrik konsultasi di sebuah surat kabar nasional.
10. Lim Wasim dan Lee Man Fong
Keduanya adalah pelukis istana di masa kepresidenan Sukarno, bersama Dullah. Lim Wasim lahir di Bandung 9 Mei 1929 dan lulusan Institut Seni Rupa Beijing. Setelah menempuh enam tahun masa studi, ia mengajar di Perguruan Tinggi Xian, di Kota Xian,Cina. Sempat terisolasi karena dituduh mata-mata Indonesia oleh pemerintah komunis Cina. Seusai tugas, ia kembali ke Bandung.
Sementara Lee Man Fong lahir di Tiongkok dan menempuh pendidikan seni di Singapura. Belajar dengan pelukis Lingnan dan mempelajari teknik melukis dengan cat minyak. Tahun 1933, ia pindah ke Indonesia. Sempat menjadi tawanan Jepang di Perang Dunia II dan setelah itu ia menjadi pelukis istana Presiden Sukarno.
Wasim berkenalan dengan Man Fong sepindahnya dari Bandung ke Jakarta. Di Bandung Wasim bergabung dalam kelompok Tjipta Pancaran Rasa bersama pelukis Barli, Angkama dan lain-lain. Tahun 1965, Wasim sempat menyusun buku Lukisan-lukisan Koleksi Bung Karno dari jlid 6 sampai 10 yang rencananya diterbitkan pada ulang tahun Bung Karno ke-65. Tetapi tragedi G-30S PKI membuyarkan rencananya dan rencana ini dibawanya hingga akhir hayat. Wasim masih berada di istana semasa pemerintahan Presiden Suharto dan keluar istana tahun 1968. Sempat mengalami trauma karena takut dianggap ”Sukarnois” ia menyamar menjadi pengusaha roti, tetapi melukis tidak bisa lepas dari hidupnya.
Lee Man Fong sendiri mengasingkan diri ke Singapura setelah kudeta tersebut tahun 1966, dan tetap berkarya. Kumpulan lukisannya diterbitkan dalam buku Lee Man Fong: Oil Paintings, volume I dan II, diterbitkan oleh musium Art Retreat. Lukisan-lukisan Man Fong banyak dikoleksi kolektor lukisan seluruh dunia.
Wasim sendiri justru banyak mengadakan pameran di luar negeri dan memperoleh banyak penghargaan internasional diantaranya dari International Biographical Center,Cambridge, Inggris (1975), Academia Italia delle Arti e del Savoro (1981) dan sejumlah penghargaan lainnya. Nama Wasim termasuk dalam kamus seni terbitan Inggris dan Amerika. Di negeri sendiri, Wasim cenderung kurang dihargai dan Wasim lebih memilih menjadi orang yang terus berkarya tanpa perlu diekspos.
Man Fong menghembuskan nafas terakhir tahun 1988 di Puncak akibat sakit, sementara Wasim meninggal dunia di Jakarta 28 Agustus 2004 akibat pendarahan otak. Rekannya sesama pelukis istana, Dullah, sudah berpulang tahun 1996.
Tidak semua tokoh keturunan Tionghoa yang berjasa ditampilkan di sini, tetapi setidaknya mereka dapat membukakan mata hati kita bahwa mereka adalah Indonesia
Admin tidak bertanggung jawab atas semua isi komentar ,Mohon dipahami semua isi komentar dengan bijak