Haji Mabrur: Pengertian Haji Mabrur



Haji Mabrur: Pengertian Haji Mabrur
Haji Mabrur, surga adalah imbalannya. Tentu semua orang mendambakan kenikmatan yang dijanjikan oleh-Nya. Sebaik-baik haji adalah haji mabrur. Lantas, apakah sebenarnya haji mabrur dan apa tanda-tandanya serta bagaimana mencapainya? Berikut ini ulasan singkat mengenai hal tersebut.

Sebelumnya mohon maaf bila ada kekurangan dan kesalahan.

Keutamaan di Balik Haji Mabrur
Tidak seorangpun di antara kita yang tidak berkeinginan untuk berkunjung ke baitullah. Masing-masing jiwa yang mukmin sungguh sangat mendambakan untuk bisa memandang ka’bah di Mekkah Al Mukarromah. Setiap individu muslim pun ingin menggenapkan kemuslimannya yakni menunaikan rukun Islam yang terakhir. 

Saat impian itu menjadi nyata dan telah menuntaskan ibadah haji dengan segala manasiknya, idealnya setiap individu meningkat keimanan dan kemuslimannya sebagai pertanda bahwa ia mencapai derajat haji mabrur. Akan tetapi, pada kenyataannya, banyak yang seusai pergi haji yang kondisi iman dan islamnya tidak mengalami perubahan atau bahkan (na’udzubillah) kualitas iman dan islamnya lebih merosot dari sebelumnya. Yang terakhir ini bukan haji mabrur yang diperoleh melainkan haji mardud (tertolak).

Dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Orang yang berperang di jalan Allah, orang yang berhaji serta berumroh adalah tamu-tamu Allah. Allah memanggil mereka, mereka pun memenuhi panggilan. Oleh karena itu, jika mereka meminta kepada Allah pasti akan Allah beri” (HR. Ibnu Majah no 2893. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Dalam hadits Ibnu ‘Umar yang lainnya disebutkan,

“Adapun keluarmu dari rumah untuk berhaji ke Ka’bah maka setiap langkah hewan tungganganmu akan Allah catat sebagai satu kebaikan dan menghapus satu kesalahan. Sedangkan wukuf di Arafah maka pada saat itu Allah turun ke langit dunia lalu Allah bangga-banggakan orang-orang yang berwukuf di hadapan para malaikat
.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Mereka adalah hamba-hambaKu yang datang dalam keadaan kusut berdebu dari segala penjuru dunia. Mereka mengharap kasih sayangKu, merasa takut dengan siksaKu padahal mereka belum pernah melihatKu. Bagaimana andai mereka pernah melihatKu?!
Andai engkau memiliki dosa sebanyak butir pasir di sebuah gundukan pasir atau sebanyak hari di dunia atau semisal tetes air hujan maka seluruhnya akan Allah bersihkan.


Lempar jumrohmu merupakan simpanan pahala. Ketika engkau menggundul kepalamu maka setiap helai rambut yang jatuh bernilai satu kebaikan. Jika engkau thawaf, mengelilingi Ka’bah maka engkau terbebas dari dosa-dosamu sebagaimana ketika kau terlahir dari rahim ibumu” (HR. Thobroni dalam Mu’jam Kabir no 1339o. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam Shahihul Jaami’ no. 1360).

Haji Mabrur: Doa Minta Haji Mabrur
 
doa haji mabrur

Ya Allah, semoga Engkau berkenan menghadirkan kami ke Mekah, Arafah dan Madinah, dan berikanlah kami (pahala) haji mabrur, dan ridhailah kami, ampunilah kami, dan sayangilah kami. Engkaulah kekasih kami, maka tolonglah kami atas golongan orang yang kafir.

Haji Mabrur, Jihad yang Paling Utama

Mengenai haji mabrur, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata,

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Amalan apa yang paling afdhol?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Ada yang bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jihad di jalan Allah.” Ada yang bertanya kembali, “Kemudian apa lagi?” “Haji mabrur”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 1519)
Dari ‘Aisyah—ummul Mukminin—radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

“Wahai Rasulullah, kami memandang bahwa jihad adalah amalan yang paling afdhol. Apakah berarti kami harus berjihad?” “Tidak. Jihad yang paling utama adalah haji mabrur”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 1520)


Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
““Siapa yang berhaji ke Ka’bah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak berbuat kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari no. 1521).


Ibnu Hajar Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Haji disebut jihad karena di dalam amalan tersebut terdapat mujahadah (jihad) terhadap jiwa.”[1]

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah mengatakan, “Haji dan umroh termasuk jihad. Karena dalam amalan tersebut seseorang berjihad dengan harta, jiwa dan badan. Sebagaimana Abusy Sya’tsa’ berkata, ‘Aku telah memperhatikan pada amalan-amalan kebaikan. Dalam shalat, terdapat jihad dengan badan, tidak dengan harta. Begitu halnya pula dengan puasa. Sedangkan dalam haji, terdapat jihad dengan harta dan badan. Ini menunjukkan bahwa amalan haji lebih afdhol’.”[2]

Pengertian Haji Mabrur

Ibnu Kholawaih mendefinikan haji mabrur sebagai berikut: “Haji mabrur adalah haji yang maqbul (haji yang diterima).” Ulama yang lainnya mengatakan, “Haji mabrur adalah haji yang tidak tercampuri dengan dosa.” Pendapat ini dipilih oleh An Nawawi.[3]

Para pakar fiqh mengatakan bahwa yang dimaksud haji mabrur adalah haji yang tidak dikotori dengan kemaksiatan pada saat melaksanakan rangkaian manasiknya. Sedangkan Al Faro’ berpendapat bahwa haji mabrur adalah jika sepulang haji tidak lagi hobi bermaksiat. Dua pendapat ini disebutkan oleh Ibnul ‘Arabi.

Haji mabrur menurut Al Hasan Al Bashri rahimahullah, beliau mengatakan, “Haji mabrur adalah jika sepulang haji menjadi orang yang zuhud dengan dunia dan merindukan akherat.”

Haji mabrur menurut Al Qurthubi rahimahullah, beliau menyimpulkan, “Haji mabrur adalah haji yang tidak dikotori oleh maksiat saat melaksanakan manasik dan tidak lagi gemar bermaksiat setelah pulang haji.”[4]


An Nawawi rahimahullah berkata, “Pendapat yang paling kuat dan yang paling terkenal, haji mabrur adalah haji yang tidak ternodai oleh dosa, diambil dari kata-kata birr yang bermakna ketaatan. Ada juga yang berpendapat bahwa haji mabrur adalah haji yang diterima. Di antara tanda diterimanya haji seseorang adalah adanya perubahan menuju yang lebih baik setelah pulang dari pergi haji dan tidak membiasakan diri melakukan berbagai maksiat. 

Ada pula yang mengatakan bahwa haji mabrur adalah haji yang tidak tercampuri unsur riya’. Ulama yang lain berpendapat bahwa haji mabrur adalah jika sepulang haji tidak lagi bermaksiat. Dua pendapat yang terakhir telah tercakup dalam pendapat-pendapat sebelumnya.”[5]


Jika telah dipahami apa yang dimaksudkan dengan haji mabrur, maka orang yang berhasil menggapai predikat tersebut akan mendapatkan keutamaan sebagaimana yang disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,


“Dan haji mabrur tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga.” (HR. Bukhari no. 1773 dan Muslim no. 1349). An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksud, ‘tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga’, bahwasanya haji mabrur tidak cukup jika pelakunya dihapuskan sebagian kesalahannya. Bahkan ia memang pantas untuk masuk surga.”[6]


Di antara bukti dari haji mabrur adalah gemar berbuat baik terhadap sesama. Dari Jabir, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang haji yang mabrur. Jawaban beliau,
“Suka bersedekah dengan bentuk memberi makan dan memiliki tutar kata yang baik” (HR. Hakim no. 1778. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. Lihat Shahihul Jaami’ no. 2819).


Demikianlah kriteria haji mabrur. Kriteria penting pada haji mabrur adalah haji tersebut dilakukan dengan ikhlas dan bukan atas dasar riya’, hanya ingin mencari pujian, seperti ingin disebut “Pak Haji”. Ketika melakukan haji pun menempuh jalan yang benar, bukan dengan berbuat curang atau menggunakan harta yang haram, dan ketika melakukan manasik haji pun harus menjauhi maksiat, ini juga termasuk kriteria mabrur. Begitu pula disebut mabrur adalah sesudah menunaikan haji tidak hobi lagi berbuat maksiat dan berusaha menjadi yang lebih baik. 

Sehingga menjadi tanda tanya besar jika seseorang selepas haji malah masih memelihara maksiat yang dulu sering ia lakukan, seperti seringnya bolong shalat lima waktu, masih senang mengisap rokok atau malah masih senang berkumpul untuk berjudi. Jika demikian keadaannya, maka sungguh sia-sia haji yang ia lakukan. Biaya puluhan juta dan tenaga yang terkuras selama haji, jadi sia-sia belaka.


Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari-Nya. Oleh karenanya, senantiasalah memohon kepada Allah agar kita yang telah berhaji dimudahkan untuk meraih predikat haji mabrur. Yang tentu saja ini butuh usaha, dengan senantiasa memohon pertolongan Allah agar tetap taat dan menjauhi maksiat. Semoga Allah menganugerahi kita haji yang mabrur. Amin Yaa Mujibas Saailin.

Sumber : http://umrohhajiku.com/

Admin tidak bertanggung jawab atas semua isi komentar ,Mohon dipahami semua isi komentar dengan bijak