Film Musikal Anak-Anak Melodi .
Film musikal mungkin adalah salah satu genre yang paling menantang untuk dipasarkan di pasar perfilman Indonesia. Bukan hanya karena penontonnya yang segmented,
dari sisi proses produksi, proses pembuatan film ber-genre ini memang
memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi daripada film-film biasa.
Tidak hanya harus memperhatikan sisi dramatisasi, sang pembuat film juga
diharuskan menyusun banyak komposisi lagu yang sesuai dengan jalan
cerita untuk ditampilkan di sepanjang film. Mungkin karena itu pula
genre musikal di Indonesia lebih difokuskan pada pangsa film anak-anak,
seperti yang dilakukan Petualangan Sherina dan Joshua Oh Joshua, yang akan lebih mudah menerima cerita yang disertai dengan iringan lagu-lagu berirama ceria.
Tahun 2010 lalu, sutradara Harry Dagoe Suharyadi merilis Melodi,
sebuah film musikal yang lagi-lagi ditujukan untuk pangsa penonton muda
Indonesia. Menangani musikal anak-anak bukanlah sebuah hal baru bagi
sutradara berusia 40 tahun ini. Dulu, serial televisi musikal arahannya,
Ratu Malu dan Jenderal Kancil sempat menjadi tontonan yang cukup populer di Indonesia. Harry Dagoe sendiri mengungkapkan bahwa dibuatnya Melodi adalah
sebagai perwujudan dari rasa peduli terhadap minimnya film-film
berkualitas yang ditujukan untuk pangsa pasar anak-anak di Indonesia.
Melodi berkisah mengenai Ruli
(Emir Mahira) dan Mili (Yasamin Jasem), kakak beradik yang tinggal di
kawasan pinggir kota bersama ayahnya (Teuku Rifnu Wikana) yang menjadi
orang tua tunggal. Mereka menjalani kehidupan dengan penuh keceriaan.
Ruli yang pandai bernyanyi bekerja sebagai pelayan sebuah warung kopi.
Mili yang hobi menggambar selalu mengintil ke mana pun abangnya pergi.
Mereka juga tengah bahu-membahu menabung demi mewujudkan impian
keluarga, yaitu mempunyai sebuah sepeda motor bekas untuk ayahnya
bekerja sebagai pengojek. Setidaknya bila memiliki motor sendiri, maka
hasil ngojek ayahnya tidak lagi mesti disetorkan ke bandar ojek dan
hidup mereka pasti menjadi sedikit lebih baik.
Saat impian indah tersebut sudah di depan
pelupuk mata, tak disangka ayah Ruli mengalami sebuah musibah yang
mengakibatkan uang tabungan mereka terkuras habis dan bahkan masih
memikul hutang yang amat besar. Apapun yang terjadi sebagai bocah yang
ulet dan tabah, Ruli pantang menyerah. Di tengah upaya membantu ayahnya
mencari biaya tambahan, ia bertemu Chika (Nadya Amanda), anak
perempuan Bu Wita (Djenar Maesa Ayu) yang menjadi bagian musibah. Tak
disangka pertemuan mereka berkembang menjadi persahabatan sejati dan
keterikatan bathin yang dalam hingga mereka menjadi bertrio bersama
Mili.
Malangnya persahabatan mereka malah
menuai kemurkaan Bu Wita, ibunda Chika yang menyama-ratakan dengan
menganggap semua anak miskin itu jahat. Namun Chika tetap menjalani
persahabatan yg manis itu secara diam-diam. Hingga suatu hari, sebuah
peristiwa “besar” hinggap pada mereka yang membuat kehidupan mereka
justeru akan bertabur bintang.
Menyaksikan Melodi secara
keseluruhan, terlihat jelas bahwa Harry Dagoe memang menujukan film ini
untuk penonton muda. Dialog yang ringan dan komikal serta lagu-lagu yang
memang bernuansakan keceriaan masa kecil menghiasi keseluruhan film ini
dan pasti akan membuat anak-anak cukup dapat menikmati film ini. Pun
begitu, jaminan akan dapat dinikmati untuk kalangan penonton anak-anak
ternyata tidak cukup untuk membuat Melodi layak direkomendasikan pada penonton yang telah beranjak dari masa kecilnya alias penonton dewasa.
Sebagai sebuah film yang dirilis pada minggu yang sama ketika film-film semacam Minggu Pagi di Victoria Park, The A-Team dan The Karate Kid dirilis, Melodi
telah menjauhkan diri dari beberapa calon penonton potensial dengan
poster film yang hampir dapat menggambarkan film tersebut secara
keseluruhan: berantakan. Tidak hanya dari sisi cerita yang benar-benar
tidak menawarkan hal yang baru dan malah terkesan datar dan biasa,
beberapa adegan yang ada di film ini seperti belum melalui tahap post-production dan
belum layak untuk digunakan sebagai adegan di sebuah film yang akan
dirilis secara luas di layar lebar. Lihat saja sebuah adegan di
penghujung film yang sepertinya diambil pada waktu siang, namun kemudian
digelapkan untuk membuat kesan bahwa adegan tersebut berlangsung di
waktu malam. Kesalahan-kesalahan ini seringkali terjadi di sepanjang
film dan membuat nilai negatif Melodi semakin bertambah.
Ini ditambah lagi dengan berbagai
ketidakwajaran yang terjadi di dalam jalan cerita. Contohnya terjadi
pada kontes menyanyi yang diadakan di dalam jalan cerita. Kontes
menyanyi tersebut merupakan kontes menyanyi tingkat kota yang
pemenangnya akan dibawa ke tingkat nasional, dan kemudian akan berlanjut
ke tingkat internasional. Namun, dari tata cara presentasinya, Harry
Dagoe malah membuat kontes menyanyi tersebut sepertinya sangat tidak
mungkin untuk dapat menarik perhatian banyak orang, atau memiliki
tingkat prestise sebagai sebuah kontes tingkat nasional, dengan
meletakkan lokasi acara tersebut pada sebuah taman rekreasi sekelas
sirkus keliling. Apakah ini bermakna ironi? Bisa jadi. Namun penonton
awam kemungkinan besar tidak akan memperdulikan hal tersebut.
Dari departemen akting sendiri,
penampilan para aktor dan aktris muda di film ini cukup mumpuni. Lihat
saja Emir Mahira — yang sebelumnya populer lewat Garuda di Dadaku
— dan Nadya Amanda, yang tidak hanya memiliki kemampuan akting yang
lumayan, namun juga suara yang tidak buruk untuk membawakan lagu-lagu di
film tersebut. Sayangnya, hanya Emir dan Nadya yang terlihat bersuara
‘alami.’ Lihat beberapa aktor dan aktris cilik lain yang suaranya
diisisuarakan oleh penyanyi profesional ketika mereka dalam adegan
bernyanyi. Sialnya, beberapa suara seperti sangat tidak pas untuk
mengisikan suara beberapa aktor. Seorang aktris cilik, misalnya,
disuarakan oleh suara yang telah lebih dewasa daripada suara aktris
tersebut seharusnya. Ada juga aktris yang suaranya malah diisisuarakan
oleh penyanyi pria — dan mirip dengan suara Emir Mahira.
Jujur saja, Harry Dagoe Suharyadi masih
pantas untuk mendapatkan apresiasi atas apa yang ia lakukan untuk
memberikan sebuah tontonan yang menyenangkan bagi anak-anak Indonesia.
Namun, jika ingin berpendapat sinis, justru karena ingin memasarkan film
ini kepada para anak-anak, yang akan hanya menikmati dan tidak akan
memberi penilaian lebih, para pembuat film Melodi seperti
membuat film ini dengan setengah hati, yang terlihat dengan banyaknya
kecacatan produksi yang banyak ditemukan di sepanjang film. Hasilnya, Melodi
bagaikan dua buah mata pisau: di satu sisi film ini akan sangat
menghibur para anak-anak yang menonton — dan buta mengenai teknis sebuah
film –, di lain sisi film ini akan banyak mendapatkan backlash dari mereka penonton dewasa yang mencoba untuk menikmati film ini, namun disuguhkan dengan film yang ‘belum benar-benar jadi.’
Melodi (2010)
Directed by Harry Dagoe Suharyadi
Produced by Harry Dagoe Suharyadi
Written by Harry Dagoe Suharyadi
Starring
Emir Mahira, Nadya Amanda, Yasamin Jasem, Teuku Rifnu Wikana, Djenar
Maesa Ayu, Fetty Vera, Daus Separo, Mario Maulana, Nadia Vella, Andre
Hehanusa, TJ
Music by Harry Dagoe Suharyadi
Distributed by Imajika Films/Gerilya Films/Dagoe Film Workshop
Running time 95 minutes
Country Indonesia
Language Indonesian
Sumber : http://amiratthemovies.wordpress.com/2010/06/14/review-melodi-2010/
Admin tidak bertanggung jawab atas semua isi komentar ,Mohon dipahami semua isi komentar dengan bijak